Sebagai salah satu tumpuan industri masa depan Indonesia, industri tekstil dan produk tekstil (ITPT) dalam negeri malah ditimpa rentetan isu buruk. Mulai dari melimpahnya produk impor akibat dampak perang dagang, seretnya pembayaran utang raksasa tekstil, hingga isu penutupan sejumlah pabrik di sentra industri tekstil nasional, Jawa Barat.
Fakta-fakta tersebut didukung oleh melemahnya neraca perdagangan TPT dalam 10 tahun terakhir, dari US$6,08 miliar pada 2008 menjadi US$3,2 miliar pada 2018. Dari jumlah itu, pertumbuhan ekspor hanya naik 3% atau tak sebanding dengan pertumbuhan impor yang melesat hingga 10,4%.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China pun tak bisa dianggap sebelah mata. Diawali dengan kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mengenakan bea masuk terhadap barang China, perang dagang dua pusat ekonomi ini berlanjut setelah China membalas aksi AS dengan penerapan bea masuk yang sama untuk produk AS. Terakhir, China bahkan mendevaluasi mata uangnya yang berdampak pada murahnya harga barang-barang China di pasar.
Baca Juga: Tempatkan Rudal ke Asia, Ketegangan AS-China Semakin Memanas
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, tak menampik bila perang dagang antara dua negara raksasa tersebut berimbas kepada industri TPT di Tanah Air. Karena, baik AS ataupun China akan mencari pasar lain yang bisa menyerap barang-barang produksinya. Untuk produk tekstil, Ade menilai serangan impor memang lebih besar datang dari Negeri Tirai Bambu.
Sebagai informasi, berdasarkan data API, China menguasai 38% pangsa pasar tekstil dunia dengan nilai perdagangan mencapai US$304 miliar. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan industri TPT Indonesia yang baru menggenggam sekitar 1,8% atau US$11,2 miliar dari nilai perdagangan tekstil dunia.
"Perang dagang menyebabkan nilai impor di Indonesia lebih besar dibanding ekspor karena harga produk tekstil di China dan AS sudah anjlok, sedangkan produk menumpuk. Itu kan harus disalurkan," ujarnya kala berbincang dengan Warta Ekonomi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Ade, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang tegas untuk menangkal semakin membanjirnya produk tekstil China ke Indonesia sekaligus meningkatkan pangsa pasar Industri TPT Indonesia di dunia. Selain itu, kebijakan yang tegas berguna untuk melindungi para pemain lokal dalam menjaga pasar domestik.
Pasalnya, banyak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergantung kepada pasar domestik. Apalagi, pelaku UMKM memiliki peran sentral di perekonomian karena sektor ini memiliki porsi sebesar 99,92% dari total unit usaha di Tanah Air. Selain itu, realisasi kontribusi UMKM terhadap PDB nasional tahun lalu mencapai sekitar 60,34%. Sehingga, ketika pertumbuhan UMKM terganggu maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Yang diperlukan pengusaha saat ini adalah menjaga domestic market. Harus ada penegasan bahwa domestic market diperuntukan untuk industri lokal. Kemudian yang kedua perlu ada fasilitasi perdagangan ke negara-negara tujuan ekspor," ucapnya.
Tak hanya itu, Ade menilai bila pemerintah pun harus menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para pengusaha. Pasalnya, ia menilai bahwa selama ini pemerintah kerap kali mengeluarkan aturan-aturan yang malah menghambat pergerakan perusahaan lokal. "Jadi, jangan ada lagi aturan-aturan yang menghambat, aturan yang mempersulit," pintanya.
Bukan hanya pemerintah yang harus bertindak, Ade berharap pengusaha Indonesia berani menjajaki pasar-pasar baru di luar negeri dan tak hanya mengandalkan pasar tradisional seperti ke Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Korea. Ia berharap para pemain industri TPT Indonesia mulai menjajal pasar nontradisional dengan masuk ke Afrika atau Amerika Latin.
Apalagi, saat ini Indonesia sudah memiliki Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Chile atau Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA) yang akan mempermudah ekspor produk Indonesia ke Amerika Selatan. Pengusaha diminta untuk tanggap melihat situasi dengan menggunakan kesempatan tersebut untuk menggarap peluang di pasar-pasar di Amerika Latin.
Seperti yang dilakukan oleh Asia Pacific Rayon (APR), unit usaha Royal Golden Eagle (RGE) yang berinvestasi membangun pabrik viscose rayon berkapasitas 240.000 ton per tahun. Ade mengatakan bahwa langkah perusahaan yang memproduksi viscose rayon yang memiliki sifat alami dan mudah terurai (biodegradable) untuk produk tekstil tersebut akan sangat membantu dalam meningkatkan nilai ekspor industri TPT di Tanah Air.
"APR itu membantu (ekspor tekstil), terutama kalau orientasi ekspor APR ini ke China. Saat ini banyak pemain rayon di China yang tutup maka mereka mencari source yang kompetitif," usulnya.
Tak hanya ditujukan untuk pasar domestik, saat ini APR telah mengekspor produk serat rayon ke 14 negara sejak beroperasi pada awal tahun ini. Negara-negara tersebut yakni Turki, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Mesir, Mauritius, Sri Lanka, Nepal, Brazil, Jerman, Portugal, Italia, Uni Emirat Arab, dan India.
Langkah yang dilakukan APR tersebut sesuai dengan harapan pemerintah kepada investor di Indonesia untuk bisa menciptakan produk yang memberikan nilai tambah serta berorientasi ekspor. Tak hanya itu, masuknya APR di tengah isu memburuknya industri tekstil menjadi bukti bahwa industri tekstil di Indonesia masih prospektif, meski memang perlu peran besar pemerintah dalam menjaga ketahanan pasar domestik.
Apalagi, dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, industri TPT merupakan salah satu dari lima industri prioritas pemerintah di sektor manufaktur yang diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia di masa mendatang. Asanya, industri TPT nasional dapat menjadi yang terdepan pada 2030 dan membuat Indonesia berada di 10 besar negara dengan perekonomian terbesar pada periode itu.
Jaga Ketahanan Pasar dengan Safe Guard
Guna membantu pemain lokal bersaing di pasar internasional dan domestik, pihaknya tengah mengkaji tindak pengamanan (safe guard) pasar industri TPT dalam negeri mulai dari hulu hingga hilir. Ade mngklaim jika usulan safe guard yang dirancang API tengah diproses oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) dan akan selesai dalam kurun waktu empat bulan mendatang atau mulai berlaku sekitar tahun 2020.
"Semua akan dikenakan bea dalam bentuk bea piramid. Kenapa kita usulkan pyramid? Karena saat ini tarif yang berlaku tidak harmonis," tambahnya.
Dengan adanya safe guard, API meyakini jika industri TPT akan kembali menggeliat. Ia juga meyakini jika safe guard selesai diaplikasikan maka para pemain lokal akan bisa bersinar di tingkat internasional.
"Makanya begitu ini diberlakukan maka para pemain industri tekstil juga harus harus berbenah. Mereka perlu memperbaharui alat produksi serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: