Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengesahan RUU Pertanahan Jangan Diburu-buru!

Pengesahan RUU Pertanahan Jangan Diburu-buru! Kredit Foto: Antara/Mohammad Ayudha
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rancangan Undang-Undangan (RUU) Pertanahan idealnya harus sejalan dengan agenda reforma agraria. Ketidakharmonisan hal-hal dalam RUU tersebut dengan agenda reforma agraria ditakutkan menghambat progres yang sudah berjalan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru mengatakan, pengesahan RUU Pertanahan tidak perlu terburu-buru karena masih membutuhkan kajian yang lebih dalam. RUU tersebut perlu memperhatikan progres dari pembahasan agenda reforma agraria agar tidak tumpang tindih lagi.

"Mulai dari penyelarasan data administrasi yang sedang berjalan seperti status kepemilikan lahan, redistribusi lahan (TORA), jangka waktu hak guna usaha, dan batas kawasan konservasi semua harus jelas," kata dia dalam rilisnya, Jumat (23/8/2019).

Baca Juga: RUU Pertanahan, DPR: Ini Sangat Berbahaya!

Ia juga menjelaskan, perlu ada prioritas kepentingan dalam penyusunan perundangan dari bottom-up approach dan progres yang sudah berjalan selama lima tahun ini. Hal ini lebih penting dibandingkan mengesahkan secara terburu-buru.

"Lebih baik mematangkan segala isu teknis dan non-teknis yang ada dengan persetujuan semua pihak berwenang, baru RUU disahkan. Persiapan yang lebih matang dapat meminimalisasi dana yang terbuang," ungkapnya.

Berkaca pada kegagalan implementasi UU nomor 41 tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang dikeluarkan pada periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, produksi pangan seperti beras sekarang tidak meningkat dengan signifikan untuk menutupi kebutuhan dalam negeri karena pengelolaan data lahan pertanian yang tidak sinkron antarinstitusi.

Kegagalan implementasi UU ini berakibat jangka panjang seperti pada kenaikan harga beras dalam negeri yang terlampau jauh dari harga beras internasional (World Bank) yang hanya di kisaran Rp6000 per kg.

Keuntungan yang didapatkan petani dalam negeri dari harga yang tinggi juga tidak maksimal dengan adanya biaya sewa lahan dan buruh yang relatif tinggi, serta dipotong oleh tengkulak di rantai distribusi.

Pengelolaan lahan pertanian yang sudah ada dari lama dan bertujuan untuk dikelola dan dijaga keberadaannya, tidak direncanakan dan dipersiapkan dengan baik oleh badan-badan berwenang di beberapa daerah.

UU LP2B tersebut terkesan tidak mengikat dan mewajibkan pemerintah daerah untuk melaksanakannya. Perlu dijelaskan juga konsekuensi hukum yang spesifik apabila UU tidak terlaksana dengan baik.

Baca Juga: Para Akademisi Desak DPR Tunda RUU Pertanahan

Perencanaan zonasi lahan seharusnya dimatangkan terlebih dahulu sebelum diimplementasikannya UU tersebut. Ke depan, implementasi UU LP2B bisa mulai digarap kembali setelah agenda reforma agraria di tiap wilayah sudah mengintegrasikan semua data baru yang valid sesuai di lapangan. Data baru ini, lanjut Diheim, menjadi acuan zonasi yang bisa dituangkan dalam RDTR secara menyeluruh di tiap kabupaten.

"Implementasi RDTR ini bisa dibantu dengan pembangunan infrastruktur di zona yang masih minim batas lahan seperti akses jalan dan fasilitas. Mulai kembali dari kertas baru, dan dengan adanya One Data Policy, implementasi UU ini ke depan semoga mudah dijalankan," urainya.

Sudah seharusnya dipahami bahwa evaluasi dari hal tersebut sebagai pegangan wakil rakyat untuk merancang UU dengan baik. Kepastian hukum dan data adalah prioritas utama, bukan untuk peningkatan ekonomi semata.

Kebutuhan lahan akan terus meningkat di kemudian hari, apabila konsolidasi peraturan lahan masih tidak terbenahi, negara ini tidak akan bisa mencapai target pembangunan yang berkelanjutan (SDGs) dan memenuhi komitmennya dalam perjanjian internasional.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: