Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin, angkat suara terkait klaim sepihak waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan terkait larangan ekspor ore (bijih nikel). Kata Luhut, percepatan larangan ini dilakukan untuk bisa meningkatkan nilai tambah terhadap produk hilirisasi. Bahkan, investasi di Indonesia juga akan meningkat sekitarRp168 triliun.
Menanggapi hal tersebut, ia mengatakan pihaknya dan pengusha nikel tidak setuju karena tidak mendengar masukan langsung dari para pengusaha nikel. Padahal, pemerintah sendiri melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah membentuk APNI untuk wadah bagi para penambang agar bisa saling tukar pikiran. Namun kenyataannya, untuk masalah ini asosiasi tersebut tidak dilibatkan.
Menurutnya, pengusaha berpotensi mengalami kerugian hingga Rp50 triliun bila larangan ekspor bijih nikel dipercepat. Sebab, kerugian tersebut diantaranya berasal dari pembangunan smelter yang terhambat karena dihentikannya ekspor nikel. Karena pengusaha mengandalkan hasil ekspor untuk membiayai pembangunan smelter.
“Kerugian pengusaha nasional yang masih dalam proses pembangunan smelter bisa mencapai Rp50 triliun,” katanya kepada wartawan, Minggu (25/8/2019).
Baca Juga: HCML Terus Dukung Program Menteri ESDM, Apa Saja?
Baca Juga: Vladimir Potanin, Bos Nikel yang Sabet Gelar Orang Terkaya di Rusia
Tak hanya itu, ia mengatakan kekhawatiran lainnya yakni tambang nikel yang berada di sekitar wilayah smelter dapat diambil alih investor asing jika pembangunan smelter tidak dapat dilanjutkan. Selain itu juga perekonomian masyarakat sekitar di lingkar tambang seperti pemilik warung serta pekerja akan kehilangan mata pencaharian.
“Satu tambang memiliki 38 operator alat berat. Operator tersebut terdiri dari operator eskavator 200 dan 300 dozer, dan dump truck. Ada pula petugas helper maintenance, dapur, pengecekan lab, dan pekerja kantor. Jika dijumlah, pekerja tersebut berjumlah 98 orang, ini baru satu tambang ore (bijih nikel),” katanya lagi.
Selain itu, Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan, ketika larangan ekspor bijih nikel (ore) dilarang dan pemerintah tidak mengawasi harganya, maka berpotensi terjadi permainan harga. Praktik ini sudah terjadi, misalnya kadar nikel 1,8% dibeli dengan harga US$ 20, sedangkan yang kadar 1,7% saja harga pasarnya US$ 32.
Dampaknya, ada potensi turunnya PNBP dari sektor minerba karena ekspornya dialihkan untuk penggunaan di dalam negeri, apalagi rencana produksi dari Freeport masih belum maksimal dalam beberapa tahun ke depan.
“Jadi belum ada substitusi devisa yang didapat dari ekspor nikel,” katanya.
Diketahui, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan ekspor Indonesia bisa terdampak dengan adanya larangan ekspor bijih nikel (ore). Bahkan disebutkan nilai ekspor yang terganggu bisa sekitar US$ 4 miliar atau setara Rp56,7 triliun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: