Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sejarah Pulau Virgin Amerika, Ternyata Dibeli dari Denmark

Sejarah Pulau Virgin Amerika, Ternyata Dibeli dari Denmark Pulau St. Croix, Kepulauan Virgin AS. | Kredit Foto: (Foto: Reuters)
Warta Ekonomi, Virginia, Amerika Serikat -

Keinginan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk membeli Greenland mendapat penolakan dari Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen. Mette bahkan menyebutnya sebagai ide konyol. Namun, Denmark ternyata pernah menjual teritorinya kepada AS di masa lalu, usai melalui proses negosiasi yang memakan waktu lebih dari 50 tahun.

 

Diketahui, setiap tanggal 31 Maret, Pulau Saint Thomas, Saint John dan Saint Croix di Kepulauan Virgin AS merayakan "Transfer Day" untuk memperingati penjualan pulau-pulau itu dari Denmark ke AS. Penjualan itu membuat Kepulauan Virgin AS menjadi satu-satunya wilayah, dari lima teritori yang dihuni secara permanen di AS, yang dibeli dari negara lain.

 

Sejarah mencatat bahwa AS dan Denmark melakukan negosiasi atas tiga pulau tersebut selama lebih dari 50 tahun sebelum akhirnya mentransfer kekuasaan pada 1917.

Sejarawan Isaac Dokhan, kedua negara memiliki motivasinya masing-masing untuk melakukan pertukaran itu. Denmark memiliki kesulitan untuk mempertahankan koloninya, sementara AS ingin melakukan perluasan wilayah.

 

Hingga akhirnya, AS akan berhasil menekan Denmark untuk menjual pulau-pulau itu dengan mengancam akan melakukan serangan militer terhadap negara netral selama Perang Dunia I. Denmark diketahui telah menjajah tiga pulau, yang dikenal sebagai Hindia Barat Denmark, pada abad ke-17 dan ke-18. Denmark memaksa orang Afrika yang diperbudak untuk bekerja di perkebunan yang menghasilkan produk seperti gula.

 

ugcfa94g8ixr53oadimp_15064.jpg

 

Namun, ada perubahan besar terjadi pada 1840-an, dengan turunnya harga gula yang membuat pertanian di ketiga pulau itu tidak lagi menguntungkan. Pada tahun 1848, ada ratusan budak di St. Croix memberontak dan berhasil mendapatkan kemerdekaan mereka, namun, mereka tidak dapat mendapat keuntungan dari lahan pertanian di pulau itu yang kecil dan ketinggalan zaman.

 

Hingga memasuki abad ke-19, Denmark merasa semakin mahal untuk mengelola pulau-pulau tersebut. Smeentara di sisi lain, sejak awal Perang Saudara, AS telah melihat kepulauan Virgin sebagai aset ekonomi dan keamanan nasional yang mungkin diakusisi.

 

Hal itu dikarenakan pejabat AS berpikir pulau-pulau itu dapat membantu mengamankan kepentingan ekonomi AS di Karibia. Tetapi mereka juga khawatir kekuatan asing yang bermusuhan mungkin mengambil kendali wilayah itu terlebih dahulu.

 

"Selama 1880-an dan 1890-an, kecurigaan diarahkan terutama terhadap Jerman, yang mengembangkan minat di Amerika Latin," tulis Dookhan. "Fakta bahwa perusahaan kapal uap Jerman, Hamburg-America Line, menggunakan St. Thomas sebagai stasiun pengisian bahan bakar secara reguler cenderung memperburuk kecurigaan itu."

 

Negosiasi pertama dua negara AS dan Denmark dimulai pada 1865, tahun berakhirnya Perang Saudara. Menteri Luar Negeri AS, William Henry Seward sebenarnya menegosiasikan perjanjian dengan Denmark untuk menyerahkan pulau-pulau itu pada 1867, tetapi Senat menolaknya.

 

02fohzn4bjn9sjt1zvf3_21354.jpg

St. Croix. (Foto: Reuters)

 

Penolakan yang dilakukan disebabkan oleh sentimen anti-ekspansionis yang muncul setelah Perang Saudara, dan sebagian karena fakta bahwa Senat marah pada Seward atas dukungannya kepada Presiden Andrew Johnson selama persidangan pemakzulan.

 

Negosiasi dimulai lagi pada 1890-an namun gagal dengan pecahnya Perang Spanyol-Amerika pada 1898.

Setelah kemenangan dalam Perang Spanyol-Amerika, wilayah AS semakin luas, begitu juga dengan kepentingan nasionalnya, membuat negara itu makin tertarik untuk membeli St. Thomas, St. John dan St. Croix untuk mengamankan rute untuk pembangunan Kanal Panama di masa depan.

 

Tak menyerah, menteri luar negeri AS, yang dijabat oleh John Hay, melakukan negosiasi dengan Denmark. Senat meratifikasi perjanjian itu pada 1902, tetapi kali ini, parlemen Denmark menolaknya.

 

Sekitar tahun 1915, di tengah berkobarnya Perang Dunia I di Eropa dan kekhawatiran akan kemungkinan pengambilalihan oleh Jerman memotivasi AS untuk melakukan upaya negosiasi baru bagi kepulauan tersebut. Namun, para pemimpin Denmark menolak menyerahkan kepulauan berpenduduk mayoritas kulit hitam itu kepada AS yang memiliki pemisahan rasial.

 

Marah atas jawaban Denmark, Menteri Luar Negeri AS Robert Lansing mengancam bahwa jika Denmark tidak menjual pulau-pulau itu, AS mungkin saja merebut mereka dengan invasi untuk mencegah Jerman menguasainya.

 

Untuk mencegah serangan militer AS, Denmark yang merupakan pihak netral dalam Perang Dunia I, menegosiasikan perjanjian yang ditandatangani Presiden Wilson pada 16 Januari 1917. Pada 31 Maret 1917, Denmark secara resmi mengalihkan pemerintahan atas kepulauan tersebut ke AS dengan harga USD25 juta dalam bentuk koin emas.

 

Sekitar tahun 1920, penjabat sementara menteri luar negeri AS menyatakan bahwa penduduk Kepulauan Virgin atau Virgin Islander memiliki "kebangsaan Amerika" tetapi bukan "status politik warga negara." Hal itu berubah pada 1932 ketika Virgin Islander memenangkan kewarganegaraan AS, tetapi tidak memiliki hak untuk memilih.

 

Kepulauan Virgin AS tidak memenangkan hak untuk memilih gubernur mereka sendiri sampai 1970. Saat ini, warga negara AS di Kepulauan Virgin AS, serta mereka yang berada di wilayah AS di Puerto Riko, Guam, Samoa Amerika, dan Kepulauan Mariana Utara, masih tidak dapat memilih anggotanya ke Kongres atau memilih presiden Amerika Serikat.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Abdul Halim Trian Fikri

Bagikan Artikel: