Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018 sebagai revisi PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau menciptakan celah yang membuat pabrikan rokok besar yang didominasi asing membayar tarif cukai murah, sehingga penerimaan negara tidak optimal. Pengolahan riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) terhadap data produksi April 2019 menunjukkan, potensi kehilangan pendapatan negara akibat pabrikan rokok besar membayar tarif cukai murah mencapai Rp926 miliar.
Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif INDEF menyatakan ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok di mana terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi sigaret kretek mesin (SKM) atau SPM tiga miliar batang. Jumlah ini adalah batas minimal produksi agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1).
"Sejumlah kalangan mendesak pemerintah menggabungkan batasan produksi SKM dan SPM. Kebijakan ini bukanlah menggabungkan cukai SKM dan SPM dalam satu tarif. Akan tetapi, pabrikan manapun yang jumlah produksi SKM dan SPM secara kumulatif telah mencapai tiga miliar batang harus dikenakan tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori karena mereka termasuk perusahaan besar," jelas Tauhid kepada Warta Ekonomi dalam pesan tertulis, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Baca Juga: Kebijakan Diskon Rokok Jadi Buah Bibir, Saham Gudang Garam Cs Terbakar!
Berdasarkan data yang diolah Indef, total produksi SKM dan SPM secara nasional mencapai 259,67 miliar batang. Rinciannya, SKM 242,73 miliar batang dan SPM 16,94 miliar batang. Dari produksi kedua segmen ini, penerimaan negara dari cukai adalah Rp146,26 triliun.
Jika batasan produksi SKM dan SPM digabung menjadi tiga miliar batang, maka terdapat 3,6 miliar batang yang diproduksi empat perusahaan multinasional -- didominasi para pemain besar asing -- yang seharusnya dikenakan tarif cukai tertinggi (golongan 1) rokok mesin SPM sebesar Rp625 per batang.
Artinya, terdapat potensi kehilangan pendapatan negara dari cukai SKM dan SPM sebesar Rp926 miliar. Jumlah kehilangan ini akan semakin besar saat produksi perusahaan besar asing yang menikmati cukai rendah semakin tinggi.
Data Indef bahkan menunjukkan terdapat pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas 3 miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya jauh lebih murah.
Baca Juga: Cukai Rokok Bakal Naik Double Digit, Saham Gudang Garam Apa Kabar?
"Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal, kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang," terang Tauhid.
Riset Indef sejalan dengan temuan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi). Heri Susanto, Ketua Harian Formasi menyatakan pabrikan rokok besar asing menikmati tarif cukai murah. Contohnya, pada golongan 1 SPM, Marlboro (Philip Morris Indonesia) terkena tarif cukai Rp625 per batang. Namun, Mevius (Japan Tobacco Indonesia), Lucky Strike dan Dunhill (Bentoel Grup atau British American Tobacco) serta Esse Blue (Korean Tobacco Group Indonesia) memakai tarif golongan 2A sebesar Rp 370 per batang atau 40% lebih rendah dari tarif golongan 1.
"Itu perusahaan asing dan golongan gede. Perusahaannya multinasional bermodal kuat," tegas Heri.
Di segmen SKM, A Mild (HM Sampoerna), Djarum Super (Djarum), dan Gudang Garam Surya (Gudang Garam) masuk golongan I dan dikenakan tarif Rp 590 per batang. Namun, Esse Mild (Korean Tobacco), memakai tarif golongan 2 sebesar Rp385 per batang. Akibatnya, mereka kini bersaing langsung dengan perusahaan-perusahaan kecil.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Kumairoh