PT Bangun Cipta Kontraktork (BCK) perusahaan kontruksi nasional saat ini tengah berperkara dengan Hawkins Infrastructure Limited (HIL) perusahaan asing dari Selandia Baru. HIL diketahui memohon kepada pengadilan untuk memberikan penetapan pernyataan pailit kepada BCK.
Namun, manajemen BCK membantah memiliki utang kepada HIL pada proyek Karaha. BCK justru kaget dengan munculnya gugatan pailit yang dilayangkan oleh HIL RO (Representative Office), perusahaan asing dari Selandia Baru. Sebab BCK telah menyelesaikan kewajiban-kewajibannya, sedangkan HIL belum melaksanakannya.
Kuasa hukum BCK, Stefanus Haryanto dari AKHH Lawyers mengatakan, selama lebih dari empat dasawarsa menjalankan bisnis kontruksi dan telah ikut berkontribusi dalam pembangunan berbagai proyek infrastruktur di Indonesia, BCK selalu menjalankan bisnis secara prudent dan mengikuti aturan yang ada.
“Terkait gugatan pailit ini, dapat kami sampaikan bahwa BCK telah menjalankan kewajiban terhadap para pihak sesuai dengan porsinya. Sehingga menurut kami, gugatan pailit ini tidak berdasar,” ujar Stefanus, Selasa (24/9/2019).
Baca Juga: Pengadilan Niaga Tunda Sidang Perdana Kasus Pailit Bangun Cipta Kontraktor
Proyek Karaha merupakan proyek EPC (Engineering, Procurement, Construction) yang tendernya dimenangkan oleh konsorsium yang terdiri dari HIL dan Alstom Power Systems SA (APS) dan PT Alstom Power Systems Indonesia (APESI). Untuk pekerjaan Engineering and Procurement (Desain dan Pengadaan) yang kemudian disebut sebagai offshore project, disub-kontrakkan kepada HIL Singapore Ltd.
Sedangkan untuk pekerjaan konstruksi yang dikenal sebagai onshore project, dikerjakan oleh Kerjasama Operasi (Joint Operation) antara HIL RO dan BCK. Dimana porsi BCK hanya 30%, sementara HIL RO sebesar 70%.
Dalam pelaksanaannya, HIL tidak mampu mengerjakan offshore projec dengan baik, karena desain proyek mengalami penundaan dan perubahan berkali-kali. Hal ini tentu berpengaruh pada pelaksanaan onshore project, karena pekerjaan konstruksi akan tergantung pada desain proyek.
Ketidak-mampuan HIL dalam mengerjakan desain itu membuat terjadinya pembengkakan biaya, terutama pembengkakan biaya offshore project. Namun HIL secara sepihak malah membebankan beban biaya offshore project itu kepada Joint Operation dengan BCK. “Tentu saja BCK keberatan dan menolak menanggung biaya untuk offshore project, karena joint operation hanya untuk mengerjakan onshore project saja,” kata Stefanus.
Untuk tindakan HIL melakukan mixing costs tersebut, BCK bahkan telah membuat Laporan Polisi pada tanggal 18 Agustus 2017 lalu.
Baca Juga: Lalai dalam Proyek Karaha, H Infrastructure Limited Somasi PT Bangun Cipta Kontraktor
Kejanggalan lain, lanjut Stefanus, jika benar BCK memiliki utang sebagaimana didalilkan dalam permohonan pailitnya, pasti HIL akan berani meneruskan perkara Arbitrase No.401 of 2017 di forum arbitrase SIAC (Singapore International Arbitration Center).
Tetapi yang terjadi adalah setelah BCK menanggapi permohonan arbitrase HIL, meskipun telah ditagih sampai 11 (sebelas kali), HIL tetap tidak membayar biaya arbitrase. Ujungnya pada tanggal 12 November 2018, SIAC menggugurkan perkara No.401 tersebut.
“Sepertinya HIL paham bahwa gertakannya tidak mempan, karena justru BCK yang telah bersiap untuk menuntut-balik atas kerugian yang dideritanya akibat perbuatan HIL melakukan mixing-costs (pencampur-adukkan) biaya antara offshore project yang merupakan tanggung jawabnya sendiri, dan onshore project yang merupakan tanggung jawab joint operation dengan BCK,” jelas Stefanus.
Saat ini, BCK juga telah membayar 30% (sesuai porsi) dari tagihan dari para pemasok atau vendor yang terlibat dalam proyek tersebut. Sedangkan HIL sampai saat ini belum melakukan tanggung jawabnya kepada para pemasok tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: