Ketahanan pangan menjadi isu yang sangat penting bagi suatu negara karena menyangkut hak hidup seluruh warga negara. Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mencoba menjelaskan apakah Indonesia sudah mencapai ketahanan pangan atau belum. Hal itu tentu harus dijawab dengan menggunakan data yang akurat dan sederet informasi pendukung.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), ada empat dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, penggunaan, dan stabilitas. Konsep serupa juga digunakan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan. Berdasarkan definisi itu, menurut peneliti CIPS, Felippa A. Amanta, ketahanan pangan bukan hanya sebatas soal ketersediaan, tetapi juga soal kualitas dan keterjangkauan.
Baca Juga: Tekan Potensi Resesi, CIPS: Pemerintah Perlu Tingkatkan Kebijakan Pro Investasi
Lanjuta Felippa, tingkat ketahanan pangan Indonesia dinilai masih rendah meskipun sudah menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (Indeks Ketahanan Pangan Global) 2018 dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di posisi 65 dari 113 negara. Jika diselidiki lebih dalam pada tiap indikator, Indonesia berada di posisi 58 untuk indikator ketersediaan, tetapi berada di posisi 63 untuk indikator keterjangkauan.
Felippa menambahkan, isu keterjangkauan masih sering luput dari perhatian saat berbicara soal pangan. Kementerian Pertanian sering membanggakan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) industri pertanian yang meningkat rata-rata 3,7% per tahun antara 2014-2018. Berdasarkan data BPS 2014-2019, jumlah PDB untuk sektor pertanian, peternakan, perburuan, dan jasa pertanian mencapai Rp880,4 triliun pada tahun 2014. Jumlah ini terus meningkat pada 2015 hingga 2018 dengan rincian sebesar Rp906,8 triliun pada 2015, Rp936,4 triliun pada 2016, Rp969,8 triliun pada 2017, dan mencapai Rp1.005,4 triliun pada tahun 2018.
"Statistik ini dielu-elukan sebagai bukti meningkatnya ketersediaan pangan dan perkembangan menuju kedaulatan pangan. Tapi di sisi lain, masyarakat masih menghadapi harga pangan yang tidak bersahabat. Berdasarkan data dari Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian 2019, pengeluaran untuk bahan makanan terus meningkat sebesar 10% sejak 2016 hingga 2018. Hal ini dapat diatribusikan ke dua faktor, yaitu peningkatan konsumsi masyarakat dan peningkatan harga," jelas Felippa dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Penelitian CIPS menunjukkan, berdasarkan data harga BPS dan World Bank, harga beras di Indonesia terus meningkat 26% sejak 2014 hingga sekarang. Padahal, peningkatan harga di pasar internasional hanya mencapai 12%. Walaupun tersedia, pangan di Indonesia masih kurang beragam, tidak merata, dan tidak terjangkau.
Tingginya harga pangan Indonesia sangat merugikan masyarakat, lanjut Felippa, terutama bagi masyarakat miskin. Mereka bisa menghabiskan 50% hingga 70% dari pendapatannya hanya untuk membeli makanan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk makanan membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditas pangan sehingga memengaruhi pola konsumsi.
Berdasarkan hasil penelitian CIPS, kenaikan harga beras sebesar Rp1.000 dapat mengurangi konsumsi beras sebesar 0,67 kg. Hal ini menyebabkan risiko tidak terpenuhinya Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan sebesar rata-rata 2.150 kilo kalori. Tidak tercukupinya nilai AKG yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75 tahun 2013 ini dikhawatirkan berkontribusi terhadap tingginya risiko malnutrisi dan stunting di Indonesia.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya harga pangan. Beberapa di antaranya adalah masalah teknis dalam pertanian. Selain itu, panjanganya rantai distribusi pertanian menyebabkan tingginya biaya transportasi yang pada akhirnya akan memengaruhi harga jual di tingkat konsumen. Industri pengolahan makanan dan minuman pun mengalami tantangan tersendiri, seperti banyaknya regulasi yang menambah ongkos dan adanya keterbatasan impor bahan baku.
Sambil isu-isu ini terus digarap oleh kementerian terkait, pemerintah terus membantu masyarakat miskin mengakses bahan pangan yang cukup melalui program perlindungan sosial berupa bantuan pangan. Bantuan pangan ini sangat penting dan patut diapresiasi. Namun, bantuan ini hanya bersifat temporer dan kurang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Baca Juga: CIPS: Pemerintah Perlu Buka Pasar Baru dan Harmonisasi Regulasi
Salah satu opsi lain yang bisa menjangkau seluruh masyarakat adalah impor. Menurut CIPS, impor bisa mendatangkan ketersediaan pangan yang beragam, berkualitas, dan terjangkau dari negara lain sesuai dengan keunggulan komparatifnya. Hal ini, lanjut CIPS, bukan menunjukkan ketergantungan pada negara luar, melainkan menunjukkan kemampuan untuk memanfaatkan pasar internasional untuk kebutuhan pangan dalam negeri.
Sayangnya, impor pun masih sering terhambat oleh regulasi proteksionis dan proses rumit yang dibumbui politik dan birokrasi. Hasil penelitian CIPS menunjukkan jika proses impor beras dipermudah, Bulog sebagai satu-satunya importir beras bisa berhemat sebesar lebih dari Rp303 miliar selama 2010-2017 dan masyarakat pun bisa lebih menikmati harga beras yang lebih murah.
Isu impor ini memang sensitif, terutama karena menyangkut nasib para petani Indonesia. Namun, menurut CIPS, kenyataannya, kebijakan proteksionis perdagangan pangan Indonesia malah gagal memberi proteksi, justru merugikan petani. Petani Indonesia merupakan net consumer yang berarti mereka lebih banyak membeli daripada memproduksi pangan. Artinya, kerugian petani dari mahalnya harga pangan lebih besar dari keuntungan yang mereka dapatkan dari perlindungan sektor pertanian Indonesia. Jika memang mau melindungi petani, kebijakan proteksionis bukanlah jawabannya. Pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan inovasi dan meningkatkan produktivitas pertanian yang bisa mendorong petani Indonesia makin kuat dan kompetitif.
Simpulan CIPS, Kementerian Pertanian perlu terus bekerja untuk memperbaiki sektor pertanian Indonesia, bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mengembangkan sistem irigasi pertanian dan infrastruktur. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk terus mengundang investasi di sektor pangan dan agrikultur serta dukungan kebijakan kementerian dan lembaga lainnya.
Perkembangan sektor pertanian harus juga diikuti oleh perbaikan perdagangan pangan sehingga konsumen tidak terlupakan. Kementerian Perdagangan juga perlu memudahkan impor sehingga bisa memastikan akses ke komoditas pangan yang terjangkau.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum