Kementerian Energi da Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah memperbaiki kebijakan harga listrik yang berasal dari pembangkit Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Diharapkan, peraturan presiden (perpers) terkait itu sudah bisa diteken awal tahun depan.
Kebijakan harga baru tersebut dimaksudkan untuk memastikan percepatan pengembangan EBT berjalan dengan baik, khususnya guna mengurangi neraca perdagangan yang defisit.
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia, Prijandaru Effendi, kendala pokok yang dihadapi para pengembang listrik panas bumi adalah masalah harga yang tidak pernah mendapatkan titik temu. Pasalnya, harga keekonomian proyek panas bumi yang dihitung para pengembang selalu ada di atas daya beli PLN yang diukur dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP).
Baca Juga: Hingga Oktober, PLN Telah Bangun Pembangkit EBT 7 Ribu MW
“Masalahnya klise dari dulu. Bagaimanapun pengembang wajib untung dan mendapat margin dari harga proyek. Sementara PLN untuk menentukan harga juga punya undang-undang sendiri dan mereka juga diwajibkan mendapat untung dari pemerintah,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Jumat (15/11/2019).
Senada dengan Prijandaru, Surya Darma selaku Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mendukung peninjauan kembali (PK) pengaturan pembelian tenaga listrik dari EBT yang telah ditetapkan pemerintah paling tinggi 85% dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat.
Selain itu, ia juga mendukung pemberlakukan sistem tarif tetap, bukan negosiasi seperti yang selama ini berlaku dan dinilai memberatkan PLN. “Masalah harga merupakan salah satu tantangan pengembangan EBT yang harus kita pecahkan. Penetapan skema 85 persen dari BPP sangat tidak fair, dan kedua, dengan pola negosiasi, kita tidak tahu kapan itu bisa terjadi. Jadi kami maklum kalau PLN tidak mau dengan kedua pola tersebut,” paparnya.
Baca Juga: Regulasi Perbaikan Kebijakan EBT Segera Dibentuk
Surya juga memberikan apresiasi atas dukungan DPR Komisi VII yang telah menyatakan akan konsisten melakukan review terhadap regulasi-regulasi yang ditetapkan pemerintah, demi mendukung lahirnya RUU Energi Terbarukan yang telah masuk Prolegnas tahun 2019.
“Hal itu merupakan dukungan terhadap pengembangan energi terbarukan dan telah menyerap aspirasi dari berbagai pihak,” ucapnya. Dalam hal ini, ia berharap pemerintah konsisten untuk tidak mengubah-ubah regulasi terus, karena akan menciptakan ketidakpastian di bidang hukum dan bisnis.
Surya menyatakan, sejauh ini METI sebagai wadah bersatunya para pelaku industri EBT konsisten mendukung program pengembangan dan percepatan EBT menuju target 23 persen di tahun 2025.
“Ini kan bagian dari target transisi, karena seluruh dunia sedang menuju pengalihan energi rendah karbon. Kalau target itu tidak segera dilaksanakan, kita bisa langsung kolaps,” ujarnya.
Baca Juga: Investasi ESDM Tembus Rp277 T, Sektor EBT Paling Minim
Prijandaru memberikan pernyataan serupa. Energi panas bumi, menurutnya sangat seksi sehingga sebenarnya banyak pengusaha, baik pemain besar maupun yang masih baru, tertarik untuk mengelola sumber eneri ini.
Namun menurutnya, tentu saja pengusaha tidak mau rugi. Dengan risiko begitu besar dalam proses produksinya, tentu mereka ingin mendapatkan return yang paling pas.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan energi terbarukan. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut, potensi listrik sumber EBT Indonesia mencapai 400 GW, namun realisasinya baru sebesar 32GW.
Sayangnya, sampai akhir 2018, energi terbarukan hanya menyumbang 8,6 persen dalam bauran energi nasional. Menurut Surya, idealnya pada tahun 2025 kita sudah bisa merealisasikan penggunaanlistrik sumber EBT sebesar 45 GW, baik dari PLN maupun dari pihak swasta.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri