Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Muhammadiyah Berang Bukan Kepalang: WSJ Minta Maaf Sekarang Juga!

Muhammadiyah Berang Bukan Kepalang: WSJ Minta Maaf Sekarang Juga! Kredit Foto: WE
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah keberatan dengan pemberitaan Wall Street Journal atau WSJ. Dalam pemberitaan itu, WSJ menuding Muhammadiyah telah dilobi oleh Pemerintah Tiongkok terkait permasalahan etnis Uighur di Xinjiang.

"Muhammadiyah menyesalkan pemberitaan Wall Street Journal yang menyebutkan adanya fasilitas dan lobi-lobi Pemerintah Tiongkok terhadap PP Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia sebagai upaya memengaruhi sikap politik Muhammadiyah, NU, dan MUI atas permasalahan HAM di Xinjiang," ujar Haedar dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/12/2019).

Menurut Haedar, pemberitaan tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, NU, dan MUI. Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak agar WSJ meralat berita tersebut dan meminta maaf kepada warga Muhammadiyah. 

Baca Juga: Tidak Mungkin NU dan Muhammadiyah Dibeli China untuk Diam, Tidak Mungkin!

"Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya," sambung Haedar.

Haedar menyebut, terkait masalah di Xinjiang, Muhammadiyah mendesak agar Pemerintah Tiongkok lebih terbuka dalam memberikan informasi dan akses masyarakat internasional mengenai kebijakan di Xinjiang.

Muhammadiyah, tambahnya, mendorong Pemerintah Tiongkok, agar menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM, khususnya kepada masyarakat Uighur atas dalih apa pun.

"Pemerintah Tiongkok, hendaknya menyelesaikan masalah Uyghur dengan damai melalui dialog dengan tokoh-tokoh Uyghur dan memberikan kebebasan kepada Muslim untuk melaksanakan ibadah dan memelihara identitas," tegas Haedar.

 

Muhammadiyah, disebut Haedar, juga mendesak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk mengeluarkan resolusi terkait pelanggaran HAM atas Masyarakat Uighur, Rohingnya, Palestina, Suriah, Yaman, India, dan sebagainya.

Haedar menerangkan, Muhammadiyah juga mendesak Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk mengadakan sidang khusus dan mengambil langkah-langkah konkret untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM yang dialami umat Islam.

"Mendesak Pemerintah Indonesia agar menindaklanjuti arus aspirasi umat Islam dan bersikap lebih tegas untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM di Xinjiang, sesuai dengan amanat UUD 1945 dan politik luar negeri yang bebas aktif," tegas Haedar.

"Pemerintah Indonesia hendaknya lebih aktif menggunakan peran sebagai anggota OKI dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, untuk menggalang diplomasi bagi dihentikannya pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa negara lainnya," sambung Haedar.

Haedar mengungkapkan, Muhammadiyah mengimbau umat Islam agar menyikapi masalah pelanggaran HAM di Xinjiang dengan penuh kearifan, rasional, damai, dan tetap memelihara ukhuwah islamiyah dan persatuan bangsa.

"Hendaknya tidak ada pihak-pihak yang sengaja menjadikan masalah Uighur sebagai komoditas politik kelompok dan partai tertentu, serta mengadu domba masyarakat dengan menyebarkan berita yang menyesatkan dan memecah belah umat dan bangsa melalui media sosial, media massa, dan berbagai bentuk provokasi lainnya," papar Haedar.

Haedar juga menghimbau kepada warga Persyarikatan Muhammadiyah untuk konsisten menyikapi persoalan dengan cerdas, berpegang teguh pada khittah dan kepribadian Muhammadiyah, tidak terpengaruh berita media sosial yang menghasut dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Baca Juga: Edit Soal Ujian Diduga Lecehkan Nabi Muhammad, Sambil Menangis Guru Ini Minta Maaf

Sebelumnya, laporan WSJ menyebutkan Pemerintah China menfasilitasi belasan pemuka agama di Indonesia bersama akademisi dan jurnalis melakukan kunjungan ke Xinjiang, China. Mereka difasilitasi untuk melihat kamp pendidikan dan pelatihan komunitas Uighur sebagai upaya memerangi ekstremisme.

Undangan China itu, setelah para ulama di Indonesia menyatakan kekhawatirannya atas tindakan persekusi yang dilakukan oleh otoritas China terhadap minoritas Muslim.

Para pemimpin Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia mengeluarkan surat terbuka pada Desember 2018, yang mencatat laporan kekerasan terhadap komunitas Uighur yang lemah dan tidak bersalah. Mereka meminta Pemerintah China, untuk memberikan penjelasan. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: