Wanita Uighur Mempertanyakan Keberadaan Ayahnya yang Dicap Separatis
Anak perempuan Ilham Tohti, seorang cendekiawan Uighur yang dipenjara di China, mengaku tidak tahu apakah ayahnya masih hidup.
Jewher Ilham mengatakan hal itu setelah menerima penghargaan hak asasi manusia dari Eropa atas nama ayahnya.
Ilham Tohti dipenjara seumur hidup atas tuduhan terlibat dalam gerakan separatisme pada tahun 2014.
Baca Juga: Lantang Dukung Muslim Uighur, Klub Asal Jerman Tutup Akademi Sepak Bolanya yang Ada di China
China telah menuai protes internasional akibat perlakuannya terhadap Uighur, minoritas Muslim di wilayah Xinjiang barat.
Tohti, seorang sarjana ekonomi, dikenal karena penelitiannya tentang hubungan antara orang-orang Uighur dan Han.
Jaksa penuntut dalam sidang tahun 2014 menuduh dia terlibat dalam kegiatan separatis, termasuk mempromosikan kemerdekaan bagi Xinjiang di situs webnya, Uighur Online.
Situs web ini, ujar Tohti, bertujuan mengedukasi para penutur bahasa Mandarin dan Uighur tentang masalah sosial.
Dia menyangkal telah menjadi separatis. Tohti dipandang oleh banyak orang sebagai suara moderat.
Jewher Ilham mengatakan dia sudah tidak bertemu ayahnya sejak 2013 dan tidak berkomunikasi dengannya selama dua tahun.
Tohti dianugerahi Hadiah Sakharov dari Parlemen Eropa untuk Kebebasan Berpikir karena dianggap mempromosikan "dialog dan saling pengertian" antara umat Uighur dan orang-orang China lainnya.
Jewher Ilham mengatakan ayahnya dicap "ekstremis yang kejam, dengan penyakit yang perlu disembuhkan dan pikiran yang perlu dicuci".
Baca Juga: Masalah Uighur, Kok Indonesia Lembek Sih ke China?
"Saya bersyukur atas kesempatan untuk menceritakan kisahnya, karena dia tidak bisa menceritakannya sendiri," kata Jewher Ilham, yang menerima penghargaan di kota Prancis Strasbourg di sebelah kursi kosong simbolis.
"Jujur, saya tidak tahu di mana ayah saya berada. Tahun 2017 adalah kali terakhir kali keluarga saya menerima kabar tentang dia."
"Hari ini harusnya menjadi momen sukacita untuk merayakan kebebasan berbicara," kata Presiden Parlemen Eropa David Sassoli melansir BBC, Kamis (19/12/2019).
"Namun, sebaliknya, ini adalah hari kesedihan. Sekali lagi, kursi ini kosong karena di dunia kita hidup dan menjalankan kebebasan berpikir, kita tidak selalu bebas."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: