Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jokowi Ungkap Kekecewaan soal Penanganan dan Pengendalian Karhutla

Jokowi Ungkap Kekecewaan soal Penanganan dan Pengendalian Karhutla Kredit Foto: Antara/Rony Muharrman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mampu menyembunyikan kekecewaannya saat memberikan pengarahan dalam upaya meningkatkan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Istana Negara.

Di hadapan peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Jokowi mengungkapkan kekesalannya karena luas karhutla meningkat pada tahun lalu. Bahkan, Jokowi kembali mengancam akan mencopot kapolda dan pangdam di wilayah yang terdampak apabila tidak mampu mengatasi karhutla.

Bahkan, Presiden menyinggung lagi karhutla yang terjadi pada 2015 silam yang menghanguskan 2,5 juta hektare lahan. Meski berhasil ditekan pada 2017, luas lahan yang terbakar kembali meningkat pada 2018, dan puncaknya pada 2019 mencapai 1,5 juta hektare lahan.

Kejadian karhutla seperti sudah menjadi ritual tahunan di Indonesia. Namun, sangat disayangkan jika kejadian yang berulang setiap tahun itu tidak diantisipasi sejak dini. Apalagi kebakaran hutan dan lahan itu diduga kuat disebabkan karena ulah manusia, alias ada unsur kesengajaan.

Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan (Sumsel) tahun lalu, misalnya, berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel, 99 persen akibat ulah manusia.

Dugaan kesengajaan hutan dan lahan itu dibakar semakin kuat saat di Provinsi Riau terjadi kebakaran lahan gambut. Padahal, hutan di Riau merupakan hutan gambut yang sulit terbakar sekalipun kemarau.

Lahan gambut tak mudah terbakar karena profilnya yang jenuh air. Gambut hanya bisa terbakar dalam keadaan kering, sedangkan musim kemarau tidak membuat gambut menjadi kering lantaran kandungan air di akarnya sangat tinggi.

Dalam kasus kebakaran lahan gambut di Riau beberapa tahun lalu, oknum yang diduga melakukan pembakaran lahan secara sengaja membuat kanal di sekitar lahan untuk menyerap air dari akar gambut. Kebakaran lahan gambut merupakan kejadian yang sulit untuk dipadamkan.

Asap yang ditimbulkan lebih besar dibandingkan lahan biasa. Satu hektare lahan gambut yang terbakar asapnya sama dengan seribu hektare lahan biasa yang terbakar.

Dampak kebakaran atau pembakaran hutan dan lahan itu tidak hanya pada kerusakan ekologi dan ekosistem lingkungan, tetapi juga menyangkut aspek kesehatan masyarakat dan ekonomi daerah, bahkan nasional. Roda perekonomian masyarakat terganggu karena kabut asap. Produktivitas masyarakat turun karena dampak dari kebakaran lahan dan hutan itu.

Masyarakat juga rentan terjangkit penyakit infeksi saluran pernafasan karena kualitas udara yang buruk. Bahkan, di beberapa kasus kebakaran hutan dan lahan menimbulkan korban jiwa.

Hutan merupakan wadah penahan air yang sangat diperlukan dalam kelangsungan hidup. Apabila hutan secara terus-menerus dialihfungsikan sebagai lahan komersial, otomatis tidak ada yang bisa menahan air.

Kerugian yang ditimbulkan dari kurangnya air bersih yakni kesehatan masyarakat terganggu, juga berpengaruh terhadap perubahan iklim.

Sejatinya pemerintah daerah maupun pemerintah pusat tahu betul bahwa ada indikasi kesengajaan atas terbakarnya hutan dan lahan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Seharusnya pemerintah daerah maupun pusat berani mengambil tindakan tegas terhadap para pihak, individu maupun konglomerasi, yang terbukti melakukan pembakaran hutan secara sengaja.

Pemerintah juga harus segera merevisi Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memperbolehkan masyarakat adat untuk membakar lahan dengan ketentuan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Regulasi yang masih memperbolehkan pembakaran lahan oleh masyarakat tersebut berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam undang-undang tersebut masyarakat diperbolehkan untuk membakar lahan seluas dua hektare per kepala keluarga (KK).

Bisa dibayangkan jika dalam satu kawasan terdapat 100 KK, maka lahan yang boleh dibakar mencapai 200 hektare.

Apabila regulasi tersebut tidak direvisi, kebakaran atau pembakaran hutan dan lahan di masa mendatang masih berpotensi terulang kembali. Karenanya, pemerintah harus benar-benar serius dalam menegakkan aturan. Tidak sekadar menebar ancaman kepada pihak-pihak yang secara struktural tidak memiliki kewenangan untuk mengubah sebuah regulasi.

Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga perlu ditingkatkan, Karena DPR memiliki tugas dan wewenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah.

Tidak sekadar memanggil kepala daerah yang wilayahnya terdampak kebakaran hutan dan lahan, tetapi juga ikut memberikan solusi untuk mengatasi bahaya kebakaran lahan—apalagi yang diakibatkan oleh kesengajaan korporasi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: