Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kisah Petugas Medis China 'Berperang' Lawan Corona: Ini Tentang Hidup dan Mati

Kisah Petugas Medis China 'Berperang' Lawan Corona: Ini Tentang Hidup dan Mati Kredit Foto: Reuters/CNS Photo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Seorang petugas medis di China yang ikut "perang" melawan wabah virus corona baru, 2019-nCoV, berbagi cerita memilukan tentang dia dan rekan-rekannya dalam menangani pasien. Dia setiap saat hanya berbicara tentang hidup dan mati, tentang apakah esok hari akan melihat matahari terbit atau tidak.

Petugas yang hanya diidentifikasi dengan nama marga Yao oleh BBC demi melindungi identitasnya mengatakan, staf rumah sakit tidak bisa makan, beristirahat, atau menggunakan toilet selama shift 10 jam mereka. Yao adalah staf di sebuah rumah sakit di Xiangyang, Provinsi Hubei, yang berhadapan langsung dengan pasien virus corona baru.

Baca Juga: Menkes Thailand Laporkan Tujuh Kasus Baru Virus Corona

Sejak muncul akhir Desember 2019 hingga hari ini, penyakit itu sudah membunuh 700-an orang di China dan ribuan orang lainnya terinfeksi. Ketika jumlah orang yang terinfeksi meningkat, informasi tentang kondisi di China mulai terbatas. Awalnya, organisasi berita di negara itu dapat melaporkan epidemi secara rinci.

Namun, dalam beberapa hari terakhir, platform internet telah men-taken down beberapa artikel yang mengkritik upaya pemerintah untuk mengekang virus itu. Para pejabat di negara itu juga berusaha untuk menindak peringatan yang dibagikan oleh dokter ketika coronavirus mulai menyebar.

Yao bekerja di apa yang dia gambarkan sebagai "klinik demam, di mana dia menganalisis sampel darah yang diambil untuk mendiagnosis siapa pun yang diduga memiliki virus corona. Sebelum virus corona mewabah, Yao telah merencanakan untuk pergi ke Guangzhou untuk menghabiskan Tahun Baru Imlek bersama keluarganya. Anak dan ibunya melakukan perjalanan lebih dulu. Namun, ketika epidemi pecah, Yao memutuskan untuk menjadi sukarelawan di Xiangyang.

"Memang benar bahwa kita semua hidup dalam satu kehidupan, tetapi hanya ada suara kuat di dalam diri saya yang mengatakan 'Anda harus pergi'," kata Yao, belum lama ini.

Awalnya dia harus mengatasi keraguannya tentang keputusannya menjadi sukarelawan "perang" melawan wabah penyakit tersebut.

"Saya berkata pada diri saya sendiri: bersiaplah dan lindungi diri Anda dengan baik. Bahkan jika tidak ada jas pelindung, saya selalu bisa memakai jas hujan. Jika tidak ada masker, saya bisa meminta teman-teman di seluruh China untuk mengirim satu untuk saya. Selalu ada jalan."

Yao mengatakan dia menemukan kondisi rumah sakit lebih baik daripada yang dia harapkan. Pemerintah telah mengirimkan sumber daya dan perusahaan swasta telah menyumbangkan peralatan untuk membantu. Namun, masih ada kekurangan masker dan pakaian pelindung, serta tidak setiap anggota staf medis dilindungi dengan baik.

"Ini pekerjaan yang sulit, sangat menyedihkan dan menyengsarakan, dan sebagian besar kita tidak punya waktu untuk memikirkan keselamatan kita sendiri," kata Yao.

"Kami juga harus merawat pasien dengan perawatan yang lembut karena banyak orang datang kepada kami dengan ketakutan besar, beberapa dari mereka berada di ambang gangguan saraf," ujarnya.

Untuk menangani tingginya jumlah pasien yang masuk, staf di rumah sakit bekerja dalam shift 10 jam. Yao mengatakan bahwa selama shift ini tidak ada yang bisa makan, minum, istirahat, atau menggunakan toilet.

"Di akhir shift, ketika kita melepas jas, kita akan menemukan pakaian kita benar-benar basah oleh keringat," kata Yao. "Dahi, hidung, leher, dan wajah kami dibiarkan dengan bekas luka yang dalam oleh masker yang ketat dan bahkan terkadang luka."

"Banyak rekan saya hanya tidur di kursi setelah shift karena mereka terlalu lelah untuk berjalan," imbuh dia.

Meskipun kesulitan, Yao mengatakan tidak ada staf medis rumah sakit yang terinfeksi. Dia dan rekan-rekannya juga didorong oleh pesan hangat dari anggota masyarakat. Beberapa orang bahkan telah mengirim makanan dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

"Saya merasa bahwa meskipun mereka dikarantina di rumah, virus menyatukan hati kita," kata Yao.

Secara keseluruhan, ia mengatakan tanggapan pemerintah China terhadap wabah virus corona "cukup cepat" dan tidak ada negara lain yang dapat memberikan tanggapan yang lebih baik. "Di Barat, Anda berbicara lebih banyak tentang kebebasan atau hak asasi manusia, tetapi sekarang di China, kita berbicara tentang masalah hidup atau mati," kata Yao.

"Kami sedang berbicara tentang apakah Anda akan melihat Matahari terbit besok. Jadi yang bisa dilakukan semua orang adalah bekerja sama dengan pemerintah dan mendukung staf medis," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: