Seorang jurnalis (wartawan) dalam menulis berita atau artikel berdasarkan gagasan yang muncul dari pernyataan narasumber. Namun, pada gilirannya jurnalis juga bisa menjadi narasumber menyampaikan gagasannya yang menarik, berdasarkan pengalaman panjang selama menjadi wartawan.
Ini seperti dapat dilihat dalam sharing session bertema "Ketika Jurnalis Ngomongin Brand" yang digelar dalam MIX Marketing Gathering memperingati HUT ke-16 Majalah MIX Marcomm yang diadakan di Auditorium London School Public Relations (LSPR) Jakarta, Rabu (26/2/2020). Tampil lima orang wartawan senior dari berbagai desk sebagai pembicara, yakni Dwi Wulandari, wartawan majalah MIX MarComm; Eny Wibowo, wartawan hidupgaya.co; Herning Banirestu, wartawan majalah bisnis SWA; Lilis Setyaningsih, wartawan Wartakota; dan M. Syakur Usman, wartawan Merdeka.com.
Baca Juga: Tolak Minta Maaf Soal Corona, China Cabut Izin Pers 3 Jurnalis WSJ
Lis Hendriani, Pemimpin Redaksi Majalah MIX, mengatakan, peta media yang sekarang makin clutter dengan kehadiran beragam channel di luar media mainstream menjadi tantangan baru bagi para praktisi komunikasi brand maupun korporat. Jurnalis sebagai pelaku earned media seharusnya makin meningkatkan kompetensinya dalam membuat berita yang berimbang untuk membedakannya dengan para selebgram, endorser, atau Key Opinion Leader (KOL) yang selama ini banyak yang diperlakukan sebagai paid media oleh brand/korporat.
"Sementara, pihak korporat seharusnya lebih menghargai berita yang ditulis para jurnalis yang lebih berimbang karena value-nya lebih besar (sebagai earned media)," ujar Lis.
Para wartawan sebagai pembicara itu juga berbagi pengalaman terkait dalam kegiatan jurnalistik di lapangan, dari soal kesulitan menembus narasumber untuk wawancara, sikap narasumber yang "pelit" memberikan data, konten rilis yang minim informasi, persoalan sikap tertutup narasumber saat diterpa isu, dan persaingannya dengan para selebgram yang menjadi brand endorser.
Menurut para pembicara, pemilik brand atau korporat dan jurnalis sebenarnya saling membutuhkan. Bagi jurnalis, yang dibutuhkan adalah data atau statement dari pejabat yang kompeten terkait tema tulisan. Oleh karena itu, memberi akses seluasnya bagi jurnalis untuk menggali informasi menjadi tuntutan dan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam menjalankan praktik jurnalistik.
Dwi Wulandari mengatakan bahwa agar terjalin hubungan harmonis, PR di korporat maupun pengelola brand mesti membuka akses seluasnya bagi jurnalis untuk memperoleh informasi. Hal itu bisa tercipta jika PR di korporat atau brand bersikap komunikatif dan interaktif dengan jurnalis, serta kreatif dengan menyuguhkan konten informasi yang lengkap dan detail.
Sementara itu, Prita Kemal Gani, Founder and CEO LSPR Jakarta, dalam keynote speech-nya menyampaikan tantangan dan peluang bagi para praktisi komunikasi perusahaan di era digital. Menurut dia, terdapat lima tantangan sekaligus peluang tersebut, yaitu pertama, konvergensi media tradisional dan digital; kedua, bentuk komunikasi interaktif; ketiga, informasi sekarang mengalir dengan cepat dan gratis; keempat, segala sesuatu didukung oleh teknologi; dan kelima, kecepatan perubahan dan kecepatan respons.
President ASEAN PR Network (APRN) ini menekankan bahwa aktivitas PR yang proaktif sangat dibutuhkan untuk membangun sebuah brand. Terlebih di era digital yang makin heterogen dengan tampilnya new audience, new relations, new tool, serta new standard. "Jelas, itu menjadi tantangan bagi pengelola brand maupun praktisi komunikasi," ujarnya.
Menurut dia, ada tiga strategi PR di era digital (3 PR insight on digital age) saat ini, yakni pentingnya menjalin hubungan yang baik (build important relationship); melakukan endorse melalui orang-orang yang kompeten dan memiliki kredibilitas yang baik (endorse frienship); serta berupaya menciptakan image brand maupun kroporat yang juga baik (build good image).
Dalam kata sambutannya, Prita juga memaparkan kompetensi yang harus dimiliki seorang PR di era digital saat ini hingga lima tahun ke depan. Kompetensi tersebut antara lain relationship skill; resources skill; management skill; leadership skill; multimedia development skill; research skill & analysis; written & verbal communications skill; multicultural & adaptable; entrepreneurial skill; serta finance & budgeting skill.
Sejumlah fakta tentang convergence media tradisional dan digital, penyampaian pesan brand dan customer yang makin cepat, interaktif, dan semua orang bisa berkomentar di sosial media, dinilai Prita, adalah tantangan dan juga peluang.
"Yang paling penting adalah bagaimana pemilik brand dapat merancang strategi PR dengan jitu melalui orang-orang di bagian PR yang memiliki skill dan kompetensi yang abdal," urai Prita.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: