Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Pramoda Dei Sudarmo mengatakan, Indonesia perlu memperbanyak inovasi untuk meningkatkan dan pemerataan kualitas pendidikan nasional. Hal itu dia sampaikan saat menjadi narasumber dalam diskusi bertema ‘Merdeka Belajar: Apakah Indonesia Mampu Menyelesaikan Tantangan Pendidikan?’, di Yogyakarta, Sabtu (29/2/2020).
Baca Juga: Pendiri FHUI Empowerment: Negara Maju Pasti Peran Perempuannya Berdaya
Pramoda menegaskan, kolaborasi merupakan kunci dalam pemerataan pendidikan berkualitas untuk melahirkan SDM unggul serta berdaya saing. Dia yakin program Merdeka Belajar adalah langkah tepat untuk meningkatkan dan pemerataan kualitas pendidikan tersebut.
“Merdeka Belajar memiliki paradigma kebebasan pada masing-masing institusi pendidikan untuk belajar apa yang dia mau. Karena pengaturan dan penyetaraan menghasilkan kepatuhan, tapi otonomi menghasilkan inovasi,” ujar Pramoda, yang dirilis kepada media, Senin (3/2/2020).
Perkembangan dunia yang cepat telah membuat pendidikan turut menerima dampak akan kemajuan teknologi. Untuk itu, maka perlu diperkuat pendidikan yang melahirkan SDM dengan keterampilan kognitif dan kreatif dalam menyelesaikan persoalan.
Menurut Pramoda, masih terdapat kesenjangan kualitas pendidikan dari sekitar 4.670 perguruan tinggi dan 8 juta mahasiswa di Indonesia. Oleh karena itu, tugas selanjutnya adalah bagaimana mendorong peserta didik agar cepat adaptif dengan dunia kerja, dan mencari solusi untuk program studi yang belum optimal terserap dunia usaha.
“Dunia berubah dengan sangat cepat sekali dan dunia berubah di semua sektor. Semua hal di dunia terdampak oleh teknologi. Teknologi mengubah cara kita memandang dunia dan pendidikan,” ungkapnya.
Dalam diskusi yang digagas Harvard Club Indonesia tersebut, hadir Presiden Harvard Club Indonesia Melli Darsa, Staf
Khusus Presiden RI, Adamas Belva Syah Devara, Wakil Rektor Universitas Tarumanagara, Gatot P Soemartono, KPH Notonegoro, Rektor Institut Teknologi Bisnis Asia Malang Risa Santoso, dan President of Indonesia Writers Asociation Satupena Nasir Tamara.
Staf Khusus Presiden RI, Adamas Belva Syah Devara mengungkapkan, perlu usaha keras dan waktu yang sangat panjang untuk mengejar kualitas ketertinggalan pendidikan Indonesia dengan negara majuBelva mengungkapkan, berdasarkan penelitian seorang profesor di Harvard, Indonesia memerlukan hingga 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dengan negara maju. Dia sependapat dengan hasil riset yang dilakukan Sanders and Rivers, bahwa kualitas guru sangat berpengaruh pada kualitas peserta didiknya.
“Untuk mengubah kualitas guru saat ini, dibutuhkan banyak waktu. Kita di Indonesia ada 4 juta guru dan kalau kita bisa melatih guru 100 ribu per tahun saja, selesainya akan 40 tahun lagi. Dan mungkin saat itu dunia sudah berubah lagi,” kata Belva.
Akses internet dan inovasi, menurut Belva, adalah kunci dari pemberdayaan guru dan murid. Hal itu sejalan dengan lonjakan pengguna internet di Indonesia yang pada 2008 sebanyak 25 juta pengguna, menjadi 171 pengguna internet pada 2018.
“Semua revolusi pendidikan akan membutuhkan elemen digital,” ujarnya.
Melli Darsa menjelaskan, seluruh dunia telah menyepakati bahwa pendidikan merupakan bagian dari hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam United Nations Declaration of Human Rights. Oleh karena itu, Melli berharap HCI dapat memberikan kontribusi nyata di dalam mewujudkan misi mencetak SDM Indonesia yang unggul serta kompetitif, baik di level nasional maupun internasional.
“Harvard Club Indonesia menyadari bahwa kami para alumni telah mendapatkan banyak hal. Untuk itu, kami ingin turut serta memberikan sumbangsih dari apa yang kami peroleh di Harvard University kepada peningkatan sumber daya manusia,” ujar Melli dalam sambutannya.
Melli menyambut baik program Pemerintahan Presiden Joko Widodo di periode kedua yang memprioritaskan pembangunan SDM. Hal tersebut terlihat dari Program Merdeka Belajar yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menciptakan proses belajar mengajar yang bahagia.
Gatot P Soemartana, mengungkapkan, Merdeka Belajar merupakan terobosan untuk mengejar ketertinggalan sistem pendidikan Indonesia dengan negara maju. Dengan merdeka belajar diharapkan tercipta fleksibilitas dan menghilangkan keseragaman yang kaku, sehingga membuka peluang untuk kreativitas dan inovasi.
“Pada akhirnya hasilnya sesuai dengan kemampuan maksimal yang dimiliki anak didik,” ucap Gatot.
Adapun Rektor Institut Teknologi Bisnis Asia Malang Risa Santoso mengatakan, ada tiga hambatan untuk melakukan perubahan bidang pendidikan perguruan tinggi di Indonesia, yaitu hambatan pemahaman, hambatan sumber daya, dan hambatan motivasi. Target untuk meningkatkan kualitas dan hasil lulusan, menurut Risa, seharusnya dijadikan misi bersama dan jangan dianggap sebagai beban.
“Bagaimana caranya kita memberi insentif pada perguruan tinggi swasta dan negeri untuk pergi ke arah yang benar, untuk membuat kerja sama yang baik, yang berguna bagi mahasiswanya. PTS dan PTN juga perlu selalu meng-upgrade tenaga pengajarnya,” kata Risa.
Sementara itu, President of Indonesia Writers Asociation Satupena, Nasir Tamara berpendapat, peningkatan mutu pendidikan nasional harus dimulai dari penguatan tenaga pendidik dan perubahan birokrasi. Menurut Nasir, pendidikan adalah landasan untuk menghadapi tantangan zaman dari segi teknologi, mental, politik, agama, serta sosial.
“Tantangan dari revolusi pendidikan adalah bahwa manusia tidak akan pernah menang melawan mesin, tetapi akan menyatu dengan mesin. Saya melihat bahwa akan ada perkawinan antara mesin dan manusia,” kata Nasir.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: