Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani meminta manajemen BPJS Kesehatan untuk transparan dalam menjalankan tugas melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini menyusul pembatasan kenaikan iuran oleh Mahkamah Agung (MA) yang diyakini berdampak terhadap keuangan BPJS Kesehatan dan kelangsungan penyelenggaraan JKN.
Apalagi BPJS Kesehatan saat ini masih mengalami defisit keuangan. "Kita minta BPJS transparan, biaya operasi berapa dan berapa gajinya, defisit berapa, harus dilakukan secara transparan karena ini masalah yang harus diselesaikan bersama," ujar Sri Mulyani di kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Sebagai informasi, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan uji materi atau judicial review terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Gugatan diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir pada 2 Januari 2020. Adapun perkara tersebut bernomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materil.
Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Batal Naik, Perokok Jangan Ditanggung!
Dalam putusannya, MA juga menyatakan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 34 berbunyi: (1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar: a. Rp42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. b. Rp110.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.
Lalu c. Rp160.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I. (2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti