Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Karena Sawit, Parjan Bergelimang Duit!

Karena Sawit, Parjan Bergelimang Duit! Pekerja melansir Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit di Pekanbaru, Riau, Rabu (20/3/2019). Petani sawit mengaku dalam sepekan terakhir harga jual TBS kelapa sawit mengalami penurunan dari Rp 1.300 menjadi Rp 1.140 per kilogram. | Kredit Foto: Antara/Rony Muharrman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perkebunan sawit rakyat yang tumbuh berdampingan dengan korporasi (negara dan swasta) menjadi keunikan tersendiri dalam sejarah panjang perkembangan perkebunan sawit di Indonesia. Kondisi tersebut dapat terjadi sebagai bagian dari implementasi kebijakan kemitraan oleh pemerintah Indonesia yang melibatkan korporasi perkebunan dan rakyat.

Pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Transmigrasi merupakan salah satu pola kemitraan sawit yang sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebijakan pemerintah yang telah berlangsung sejak 1986 lalu.

Awalnya, kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan di 11 provinsi di Indonesia dan berhasil mengembangkan perkebunan sawit baru sekitar 566 ribu hektare yang terdiri dari 70% kebun plasma dan 30% kebun inti.

Baca Juga: CPO Oh CPO… Ayolah!

Parjan, pria paruh baya berusia 55 tahun, adalah salah satu bukti keberhasilan pekebun sawit dengan pola kemitraan PIR-Trans. Parjan berasal dari Sragen, Jawa Tengah, tetapi akhirnya memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi ke Riau dari pemerintah sejak 1987.

Awalnya, lahan seluas 2,5 hektare yang diberikan oleh pemerintah kepada warga transmigran, termasuk Parjan, hanya ditanami jagung dan singkong. Namun pada 1991, pemerintah mengadakan program konversi lahan untuk dijadikan perkebunan sawit dalam pola PIR-Trans.

Melalui pola kemitraan tersebut, kemampuan finansial petani yang terbatas, rendahnya pengetahuan petani hingga aspek teknis lainnya sebagai kendala utama yang dihadapi petani dapat terkoordinasi dengan baik oleh perusahaan sebagai mitra.

 

Dengan pola kemitraan ini, warga trans di wilayah tersebut sebagai pemilik lahan mulai mengenal sistem perbankan untuk mendapatkan kredit. Dana sebesar Rp9.025.000 per petani yang didapatkan dari perbankan digunakan seluruhnya untuk pembiayaan membangun kebun sawit.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: