Dengan 171,1 juta pengguna internet, ruang ekonomi digital di Indonesia diprediksi bakal tumbuh lebih besar. Laporan gabungan Google, Temasek, dan Bain & Co bahkan menyebut nilai ekonomi internet di Indonesia akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, dengan nilai US$130 miliar (sekitar Rp2,2 Kuadriliun) pada 2025.
Pada akhirnya, hal itu menarik minat investor asing, khususnya dari Jepang, China, dan India untuk menyuntikan modal ke startup lokal. Di sisi lain, para konglomerat lokal juga tak mau ketinggalan untuk berinvestasi di sektor tersebut demi menciptakan 'senjata baru' dalam bisnis keluarga.
Beberapa di antara keluarga konglomerat itu memilih mengembangkan startup sendiri, tapi ada pula yang memilih tetap berperan sebagai pemodal.
Baca Juga: Mengapa Konglomerat Indonesia Masih Enggan Genjot Investasi di Startup?
Dengan menghimpun informasi dari berbagai sumber, berikut ini 5 keluarga konglomerat Indonesia yang aktif terlibat dalam dunia startup lokal:
1. Keluarga Riady (Lippo Group)
Anda tentu tak asing dengan korporat raksasa 'Lippo Group', kan? Nah, Keluarga Riady adalah dalang di balik seluruh bisnis di bawah naungan perusahaan itu. Mochtar Riady merupakan generasi pertama Keluarga Riady, diikuti oleh generasi kedua dengan anggota, antara lain: James Riady dan Stephen Riady.
Usaha mereka ke dalam industri teknologi dipimpin oleh Direktur Lippo Group saat ini, John Riady.
Pada 2015, Keluarga Riady mendirikan Venturra Capital yang sebelumnya bernama Lippo Digital Ventures. Setahun kemudian, mereka berpartner dengan Grab, kemudian meluncurkan situs belanja online Matahari Mall dan pembayaran digital Ovo.
Sayangnya, Matahari Mall ditutup pada 2018 dan terlahir kembali dengan nama 'Matahari.id'. Sementara pada 2019, Lippo menjual 70% saham di Ovo untuk menghindari praktik bakar uang di platform itu.
2. Keluarga Widjaja (Sinar Mas)
Dimulai oleh Eka Tjipta Widjaja, Sinar Mas awalnya bergerak sebagai perusahaan kertas, kemudian berekspansi ke layanan keuangan dan telekomunikasi.
Di sektor digital, Sinar Mas mulai bermitra dengan East Ventures pada 2012. Portofolio mereka yang paling terkenal, antara lain: Fore Coffee, Tokopedia, dan Traveloka.
6 tahun kemudian, Sinar Mas bersama dengan East Ventures dan Yahoo Jepang meluncurkan EV Growth yang berfokus mendanai startup di tahap pertumbuhan. Di tahun yang sama, Sinar Mas juga mendirikan Sinar Mas Digital Ventures (SMDV) yang telah menyuntikan modal ke HappyFresh, startup periklanan Stickearn, dan perusahaan SaaS logistik Waresix.
Tak cuma itu, Sinar Mas juga membentuk Latitude Venture Partners (LVP) dengan Linda Wijadja sebagai mitra pengelola. Dalam pendanaan, LVP berperan sebagai investor murni di startup tahap awal di sektor healthtech dan fintech, lalu menyiapkan US$1 juta-10 juta dalam tiap putaran pendanaan.
3. Keluarga Hartono (Djarum)
Keluarga yang menghasilkan pundi-pundi kekayaan pertama lewat Djarum ini memulai kiprah di dunia startup lewat putra Robert, yakni Mastin Basuki Hartono.
Setelah menyelesaikan studi di AS dan kembali ke Jakarta pada 1998, Martin bergabung dengan Djarum sebagai Direktur Teknologi Bisnis. Pada 2010, ia mendirikan Global Digital Prima Venture (GDP Venture) dan menerima dukungan dari Ayahnya.
Dengan modal US$100 juta, Martin membeli sejumlah saham situs terkenal di Indonesia, antara lain: Kasukus, Blibli.com, Tiket.com, Gojek, dan HaloDoc. Langkah selanjutnya, Martin mendirikan Inkubator Merah Putih lewat PT Merah Putih Colony.
4. Keluarga Sariatmadja (Emtek)
Manuver digital Emtek yang paling besar adalah akuisisi BlackBerry Messenger (BBM) pada 2016 melalui anak perusahaan Kreatif Media Karya Online (KMK Online). Namun, banyak yang menilai langkah itu tidak tepat karena saat itu pengguna sudah beralih memakai WhatsApp.
Di luar BBM, KMK Online juga berinvestasi ke e-commerce mode Bobobobo, situs Hijup, serta unicorn Bukalapak, serta startup media Vidio.
5. Keluarga Salim (Grup Salim, Indofood, Indomaret)
Usaha digital Keluarga Salim dimulai pada 2014 saat mereka menanamkan US$445 juta di Rocket Internet di Berlin, lewat anak usaha telekomunikasi asal Filipina, Phillippine Long Distance Telephone Company. Meskipun pengembaliannya tidak berlimpah, Grup Salim tak mundur dari sektor digital.
Pada 2017, Grup Salim mendirikan Blok71, inkubator yang bermitra dengan National University of Singapore Enterprise yang diprakarsai oleh Axton Salim.
Di tahun yang sama, perusahaan konglomerat itu juga menggandeng Lotte Group Korea Selatan untuk mendirikan perusahaan e-commerce patungan, iLotte.
Grup Salim juga bermitra dengan startup biometrik Liquid Inc asal Jepang, bertujuan meluncurkan layanan pembayaran seluler yang dijamin oleh otentikasi sidik jari.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Tanayastri Dini Isna
Tag Terkait: