Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Setelah Pandemi Berakhir, Krisis Ekonomi Akan Cepat Pulih

Setelah Pandemi Berakhir, Krisis Ekonomi Akan Cepat Pulih Kredit Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pandemi virus corona (Covid-19) diprediksi akan berdampak serius terhadap ekonomi, bahkan menjadi ancaman krisis. Namun demikian, berbeda dengan krisis tahun 1998 dan 2008, krisis kali ini diyakini akan lebih cepat pulih setelah wabah virus berakhir.

Demikian diungkapkan Piter Abdullah Redjalam, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia. Kayakinan itu bukan tanpa alasan, tapi melihat latar belakang ekonomi Indonesia saat ini dan faktor pemicu ancaman krisis ekonomi saat ini yang sangat berbeda dibanding dengan krisis 1998 dan 2008.

Baca Juga: Rizal Ramli: Gairahkan Ekonomi Rakyat Akan Bangkitkan Perekonomian Indonesia

Pada tahun 1998 kondisi ekonomi Indonesia sangat rapuh, dunia usaha saat itu keropos tidak punya daya saing. Pemicunya adalah krisis nilai tukar mata uang. Dengan dunia usaha yang rapuh, hantaman krisis langsung merambat ke sektor perbankan, kredit macet membengkak yang akhirnya perbankan ambruk.

Kemudian pada kriris 2008, pemicu global financial krisis akibat subprime mortgage. Saat itu Indonesia juga terkena dampak pada sektor keuangan khususnya di pasar modal. Namun, pada tahun 2008 kondisi ekonomi Indonesia relatif kuat, khususnya perbankan. Karena dunia usaha juga kuat, tidak terpengaruh.

"Kredit perbankan tidak berpengaruh besar, sektor perbankan tidak mengalami pengaruh besar, kecuali di beberapa bank, seperti Century," jelas Piter.

Berbeda dengan tahun di tahun 2020 ini, pemicunya bukan keuangan ataupun bukan bisnis, tapi kesehatan. Dampaknya dunia usaha tak bisa jalan, sehat, tapi tidak bisa gerak. Sektor usaha, kokoh, kuat, sehat, tapi tidak bisa beroperasi.

Oleh karena itu, sektor keuangan juga belum terlalu terpengaruh. Kredit macet belum naik. Meskipun ada potensi meningkat, belum berpengaruh besar. "Jadi yang kena kegiatan ekonomi sosialnya, masyarakat yang terdampak. Ini harus dibedakan," tegas Piter.

Melihat latar belakang dan pemicu krisis berbeda, respons kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah juga berbeda. Kalau krisis tahun 1998 utamanya dalam rangka untuk BLBI, bukan menyehatkan perbankan, tapi dana talangan untuk mengembalikan dana masyarakat. Respons kebijakan yang paling besar dalam bentuk penyehatan kembali perbankan nasional. Saat itu tidak ada stimulus untuk dunia usaha, tidak ada bantuan kepada masyarakat terdampak.

Untuk tahun 2008, upaya menstimulus perekonomian, menaikkan gaji pegawai untuk meningkatkan konsumsi. Namun, skalanya sangat kecil.

Sementara untuk di tahun 2020 ini, pemerintah melakukan respons kebijakan yang sangat besar, stimulus Rp405 triliun itu menjadi respons kebijakan fiskal yang terbesar yang pernah dilakukan. Diimbangi kebijakan bank central, sektor moneter yang juga luar biasa support. Juga didukung oleh respons kebijakan OJK dan LPS.

"Sependapat kalau krisis yang sekarang jauh lebih kompleks dibandingkan tahun 2008. Tekanan juga lebih besar dibandingkan tahun 1998. Akan tetapi, kekuatan kita menahan tekanan krisis sekarang ini, kondisi dunia usahanya, kondisi infrastruktur kelembagaan pemerintah, jauh lebih siap dibanding 1998," jelas Piter.

"Jadi kalau melihat dari keseluruhan analisisnya, tekanan dan kemampuan menghadapi tekanan itu, saya meyakini kita tidak mengalami kondisi yang lebih buruk dari pada tahun 1998. Saya memperkirakan kita bisa recovery dengan lebih cepat dibandingkan tahun 1998," tutup Piter.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: