Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

4 Negara Asia Tenggara dengan Kasus Infeksi Corona Rendah, Kok Bisa?

4 Negara Asia Tenggara dengan Kasus Infeksi Corona Rendah, Kok Bisa? Kredit Foto: VN Express
Warta Ekonomi, Bogor -

Di saat Singapura, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina telah mencatatkan ribuan kasus infeksi corona, sejumlah negara di Asia Tenggara lainnya masih memiliki kasus nfeksi yang tergolong rendah.

Pertanyaannya, negara mana sajakah yang dimaksud? Dengan menghimpun informasi dari berbagai sumber, Warta Ekonomi telah merangkum data negara-negara Asia Tenggara dengan angka infeksi corona yang masih rendah:

Vietnam

Vietnam mencatatkan 262 kasus infeksi corona sampai Senin (13/4/2020), dengan 144 pasien sembuh dan 118 kasus aktif. Negara itu belum melaporkan kasus kematian akibat corona. Dibandingkan dengan ribuan kasus yang dicatat di lima negara Asia Tenggara lain, kasus di Vietnam tergolong rendah. Apa yang membuat Vietnam bisa menekan angka kasus corona?

Pertama, ketersediaan alat tes. Wakil Menteri Kesehatan Vietnam, Nguyen Thanh Long mengklaim tak ada kekurangan alat tes untuk mendiagnosis COVID-19. Negara itu dilaporkan telah membeli 200 ribu alat tes dari Korea Selatan. Bahkan, negara itu juga telah berhasil memproduksi alat tes yang diklaim bisa mendiagnosis infeksi virus hanya dalam satu jam.

Kedua, ada 21 fasilitas medis di seluruh Vietnam yang telah setuju untuk melakukan tes COVID-19, per 31 Maret.

Lebih lanjut, Vietnam juga telah menyiapkan diri untuk mengatasi corona sebelum kasus pertama pada 23 Januari dikonfirmasi. Menurut WHO, Kementerian Kesehatan Vietnam telah mengeluarkan pedoman pencegahan saat China baru mendeteksi 27 infeksi di Wuhan. Pedoman itu mencakup pemantauan ketat terhadap wilayah perbatasan dan pencegahan infeksi.

Terlebih, saat China melaporkan kasus kematian pertama akibat corona pada 11 Januari, Vietnam segera memperketat kontrol medis di seluruh gerbang perbatasan dan bandara.

Vietnam juga melakukan penelusuran kontak secara ketat terhadap masyarakat yang berinteraksi dengan pasien terinfeksi. Negara itu juga mengisolasi pasien yang sudah positif terinfeksi.

Negara itu juga menggandeng perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem pelaporan online. Kemenkominfo setempat juga memperkenalkan aplikasi NCOVI yang meninjau kondisi kesehatan penduduk.

Laos

Sejauh ini, Laos baru mencatatkan 19 kasus infeksi corona, belum ada yang sembuh dan meninggal. Namun, klaim kasus nol kematian di negara itu diragukan oleh sejumlah pihak, mengingat Laos berbatasan langsung dengan China, Myanmar, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.

"Saya khawatir ada epidemi tersembunyi," kata seorang dokter dari Kota Luang Prabang, Laos.

Menurut laporan Foreign Policy, situs warisan dunia UNESCO di kota itu dikunjungi oleh 655 ribu wisatawan pada 2018, 1/4 di antaranya berasal dari China.

Belum lagi, rumah sakit di Laos disebut tak memiliki alat uji corona yang cukup. "Rumah sakit provinsi tak memiliki peraltan untuk menguji masyarakat, sehingga mereka mungkin hanya merujuk kasus terburuk ke laboratorium di Vientiane," kata dokter yang sama, menolak namanya diungkapkan demi keamanan.

Pernyataan dokter itu didukung oleh staf di organisasi kesehatan swasta. Terlebih, berdasarkan keterangannya, beberapa orang justru tak mendapatkan perawatan yang dibutuhkan dan berujung kehilangan nyawa.

Belum lagi, adanya wabah penyakit pernapasan Laos yang memiliki gejala serupa COVID-19. Penelitian oleh Institut Pasteur du Laos pada 2017 menyebut, keragaman patogen bakteri dan virus yang tinggi beredar di antara jutaan populasi. Kesalahan diagnosis di RS pedesaan jadi salah satu masalah di sana.

Sifat tertutup pemerintah komunis di Laos memperburuk situasi, mengingat laporan resmi di media dikontrol oleh negara. Begitu pula dengan informasi yang beredar di media sosial yang diatur oleh UU Kejahatan Dunia Maya 2015.

"Semua televisi, radio, dan publikasi cetak diawasi dan dikendalikan secara ketat oleh Pemerintah Laos. Konstitusi melarang semua kegiatan media massa yang bertentangan dengan kepentingan nasional," begitu menurut Human Rights Watch.

Myanmar

Myanmar memiliki 41 kasus infeksi corona, dengan angka kematian 4 pasien, 2 pasien sembuh, dan 35 kasus aktif. Namun, banyak yang takut kalau rendahnya jumlah tes menjadi penyebab rendahnya kasus yang telah diidentifikasi.

Terlebih, satu dari ribuan pekerja migran dari Thailand yang kembali ke Myanmar pada awal April merupakan pasien positif corona. Myanmar juga lambat dalam melakukan pengujian secara luas. Pada akhir Maret, hanya 517 orang saja yang telah melakukan uji diagnosis corona.

"Untuk menemukan 10 kasus dari 300 tes menunjukkan ada lebih banyak kasus di Myanmar sehingga negara itu harus meningkatkan pengujian," kata Ahli Epidemi dari Universitas Southampton, Andrew Tatem.

Bahkan, PBB sudah mengumumkan donasi 50 ribu alat uji ke Myanmar, menambah sumbangan dengan bentuk serupa dari Singapura (3 ribu) dan Korea Selatan (5 ribu).

Analis Independen David mathieson pun menilai, sistem kesehatan di Myanmar sangat tidak cocok dalam menanggapi pandemi pada skala ini sehingga sulit untuk memprediksi kapan pandemi di sana akan berakhir.

"Pemerintah pun lambat merespons. Myanmar mengalami kondisi seperti ini karena gabungan ketidakmampuan pemerintah, budaya penolakan, dan gangguan ultranasionalis," katanya.

Brunei Darussalam

Sejauh ini, Brunei mencatatkan 136 kasus infeksi corona, dengan 106 pasien sembuh, 29 kasus aktif, dan 1 pasien meninggal. Negara melaporkan tidak ada kasus baru pada Minggu (12/4/2020).

Lebih lanjut, 66 orang di Brunei masih menjalani karantina, sedangkan 2.334 orang telah menyelesaikan masa karantina. Untuk diketahui, pasien positif di Brunei menjalani masa isolasi di National Isolation Center (NIC).

Brunei sendiri telah menggelar 9.884 tes laboratorium untuk COVID-19. Menteri Kesehatan Brunei, Dato Seri Setia Dr Haji Mohd Isham bin Haji Jaafar mengklaim, tes acak juga dilakukan terhadap para pekerja migran, termasuk petugas kebersihan rumah sakit dan pekerja konstruksi.

Salah satu penyebab datangnya corona ke Brunei ialah penduduk yang mengikuti Masjid Jamek Sri Petaling dengan 16 ribu peserta di Kuala Lumpur pada 27 Februari-1 Maret.

Oleh karena itu, per 15 Maret 2020, tidak ada penduduk Brunei yang boleh meninggalkan negaranya. Pergerakan domestik pun dibatasi, para pelaku usaha kecil juga tak bisa berbisnis dengan normal.

Menanggapi langkah Brunei dalam menangani COVID-19, Duta Besar Republik Islam Iran untuk Brunei, Homeira Rigi Zirouki melontarkan pujian kepada Kemenkes setempat.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Tanayastri Dini Isna

Bagikan Artikel: