Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tekanan Ekonomi Selama Pandemi Corona Ancam Kesejahteraan 800 Juta Orang di Dunia

Tekanan Ekonomi Selama Pandemi Corona Ancam Kesejahteraan 800 Juta Orang di Dunia Kredit Foto: Reuters/Carlos Garcia Rawlins

Dari Malaysia ke Indonesia: Sumarno

Sejak diberlakukan Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) atau semacam pembatasan pergerakan di Malaysia mulai tanggal 18 Maret lalu, praktis sumber penghasilan Sumarno kering.

Pria asal Jawa Tengah itu adalah pekerja migran Indonesia yang punya keahlian dalam bidang kelistrikan.

Dengan gaji harian, jasanya biasanya diperlukan di berbagai tempat, mulai dari rumah, pabrik hingga bangunan.

"Secara ekonomi jelas pengaruh, sebab dengan adanya sistem PKP dari tanggl 18 Maret sampai sekarang tidak diperbolehkan bekerja, sedang untuk pekerja harian itu ada kerja ada gaji, jadi untuk waktu tersebut tidak dapat penghasilan langsung," tuturnya kepada wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, pada Selasa (12/5/2020).

Hasilnya cukup untuk menghidupi anak dan istrinya di Malaysia, selain dikirim ke Indonesia untuk lima anggota keluarga; kedua orang tuanya, kedua mertuanya dan seorang anak yang sekolah di SMK.

Jika ditotal, Sumarno biasanya mengirim Rp3 juta per bulan.

"Kita tidak ada penghasilan, jangankan untuk menanggung keluarga, untuk menanggung diri sendiri saja banyak yang kebingungan," kata Sumarno.

Menurut Nasrikah, seorang aktivis pekerja migran di Malaysia, apa yang dialami oleh Sumarno jamak terjadi di kalangan tenaga kerja Indonesia dan imbasnya adalah keluarga mereka.

"Tentunya sangat sulit juga untuk keluarga di Indonesia. Karena untuk nasib pekerja sendiri sekarang juga sangat tidak baik."

Dari Lebanon ke Sri Lanka: Chandra

Chandra Naayage (52), bekerja sebagai petugas kebersihan di Lebanon selama lebih dari 15 tahun. Ia mengirimkan gajinya ke Sri Lanka untuk membantu suaminya, seorang petani teh, dua putrinya dan seorang putranya.

Chandra biasanya mengirimkan sekitar 400 dolar AS atau kira-kira Rp6 juta untuk keluarganya setiap bulan.

Uang itu antara lain digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah dan menguliahkan dua putrinya. Sekarang mereka telah berumah tangga.

Tetapi sejak Oktober tahun 2019, pertumbuhan ekonomi Lebanon mandek dan negara itu mengalami kekacauan.

Mata uang pound Lebanon turun tajam terhadap dolar Amerika Serikat --mata uang yang digunakan untuk mengirimkan uang pulang-- sekarang sulit didapat. Kondisi itu juga membuat Chandra harus mengeluaran lebih banyak uang pound untuk membeli dolar dibanding sebelumnya.

Layaknya pekerja rumah tangga dari Asia, Chandra bekerja untuk beberapa rumah di Lebanon dengan tarif 10.000 pound Lebanon. Biasanya ia bisa mengantongi 6,50 dolar AS untuk setiap 10.000 pound tetapi sekarang nilainya turun menjadi sekitar 2,50 dolar AS.

 

Di masa pandemi, para majikan tidak mengizinkan orang dari luar unit rumah tangga mereka masuk ke rumah. Akibatnya, Chandra tak punya pekerjaan dan tak mampu mengirim uang untuk keluarganya.

Chandra menyewa tempat bersama dua perempuan lain dan mereka terpaksa meminta bantuan makanan. Ia khawatir tidak akan mampu menguliahkan putranya yang berusia 19 tahun.

"Bekerja di Lebanon sebelumnya enak, karena kami tidak akan mendapatkan upah sebesar itu di Sri Lanka. Saya melakukan banyak hal untuk keluarga saya," kata Chandra kepada BBC.

"[Sebelum Covid-19] Saya memutuskan untuk bekerja selama satu atau dua tahun lagi, karena saya ingin hidup bersama keluarga saya. Tetapi jika kondisi tidak membaik, kami tidak bisa tinggal di Lebanon."

Dari Amerika Serikat ke Somalia: Abdi

 

Abdi Duale (40) tinggal bersama istri, lima anak dan keluarga besarnya di pinggiran kota Mogadishu.

Kawasan itu menjadi sasaran serangan kelompok militan, dan demi keselamatannya, Abdi meminta BBC untuk tidak menerbitkan fotonya.

Kakak Abdi, yang paling tua, tinggal di Minnesota, Amerika Serikat dan bekerja sebagai sopir truk.

Ia meninggalkan Somalia tahun 2007 dan tiba di Amerika Serikat dengan melewati Africa Selatan, Brasil dan Meksiko.

Sebelum krisis, abang Abdi mengirim uang US$400 (sekitar Rp6 juta) untuk keluarganya di Somalia, sebagian besar kiriman uang itu untuk istri dan anaknya, dan untuk orang tuanya.

Tetapi sejak Covid-19, jutaan orang kehilangan pekerjaan di Amerika Serikat, dan tidak ada sisa uang untuk dikirim pulang.

 

"Sebelum penyakit ini, kakak saya bisa menghidupi kami semua. Sekarang ia mengatakan ia berdoa agar situasi ini kembali normal," ungkap Andi kepada BBC.

Jasa pengiriman barang dengan truk tetap berjalan di Amerika Serikat selama pandemi tetapi pendapatan abang Abdi telah terdampak.

 

Sampai tiga bulan lalu, Abdi menjalankan kursus bahasa Inggris. Tetapi tempat kursus itu sekarang tutup karena jumlah pesertanya tidak mencukupi, dan banyak orang tua menunggak iuran.

Keluarga Abdi membeli bahan pokok dengan meminjam dari para pemilik toko dan akan membayarnya jika situasi membaik.

Namun toko-toko kecil juga mengalami kesulitan karena banyak pembeli mengutang.

"Jika situasi membaik di sini, dan saya bisa mendapatkan pekerjaan, maka kehidupan akan berlanjut," kata Abdi.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: