Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

PSBB Mau Dilonggarkan, Kajian Statistik Malah Ungkap Fakta Sebaliknya

PSBB Mau Dilonggarkan, Kajian Statistik Malah Ungkap Fakta Sebaliknya Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ekonom senior Indef, Dradjad Wibowo, mempertanyakan kesiapan Indonesia untuk berdamai dengan Covid-19. Analisis moving average (MA) atas data secara nasional menunjukkan ketidaksiapan melakukan pelonggaran atau relaksasi PSBB.

Dradjad mengatakan, dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia jelas sangat besar. Pertumbuhan ekonomi kuartal 1/2020 anjlok drastis ke 2,97%. Padahal, pada 30 April 2020 di depan Komisi XI DPR RI, Menteri Keuangan memperkirakan pertumbuhan kuartal 1/2020 masih 4,5-4,7%. BI memperkirakan 4,3%.

Baca Juga: Bamsoet Juga Gak Setuju PSBB Dilonggarkan: Takut Ada Covid-19 Gelombang Kedua

"Saya tidak kaget dengan rendahnya pertumbuhan tersebut. Sering saya sampaikan, tanpa pandemi pun perekonomian Indonesia tahun 2020 cenderung melemah. Pandemi Covid-19 memperburuk pelemahan tersebut. Padahal, pemerintah sangat memprioritaskan ekonomi," kata ketua Dewan Pakar PAN itu, Kamis (14/5/2020).

Karena itu, lanjutnya, tidak heran jika wacana berdamai dengan corona dan pelonggaran PSBB muncul. Dari sisi ekonomi serta kebutuhan rakyat bekerja, kata Dradjad, semua tentu ingin bisnis dan ekonomi kembali bergerak. "Masalahnya, apakah data Covid-19 mendukung pelonggaran tersebut? " tanya Dradjad.

Dradjad mengaku mengumpulkan data harian kasus positif Covid-19 untuk periode 2 Maret-13 Mei 2020. Meski yakin jumlah kasus positif yang riil jauh di atas data resmi, Dradjad akan berpijak dari data resmi saja.

Dalam analisisnya, Dradjad melakukan analisis sederhana memakai moving average (MA) untuk Indonesia dan DKI Jakarta. MA ini, kata Dradjad, banyak dipakai di pasar keuangan. Tujuannya untuk "menghaluskan" fluktuasi jangka pendek dari data dan sekaligus mempertajam tren atau siklus jangka panjang. "MA ini makanan sehari-hari bagi analis pasar," ungkap Dradjad yang juga ekonom senior Indef.

Dradjad menghitung SMA (simple moving average) dan EMA (exponential moving average). Periode yang dipakai adalah 5 dan 14 hari. Alasannya, masa inkubasi rata-rata SARS-COV-2 sekitar 5 hari dan periode isolasi yang disarankan adalah 14 hari. EMA biasanya lebih kuat dibandingkan SMA.

Kurva MA bisa memberi intuisi, apakah tren kasus ke depan cenderung naik, landai, atau malah turun. "Ini baru memberi gambaran sangat awal, apakah pelonggaran layak dipertimbangkan, baru dipertimbangkan lho ya," ungkap Dradjad.

Hal ini karena ada indikator yang lebih penting diketahui, yaitu bilangan reproduksi dasar atau bilangan reproduksi efektif. "Jika Anda menonton film Contagion, indikator bersimbol R ini muncul di sana, meski kurang akurat," kata Dradjad.

Dijelaskannya, R ini bahasa gampangnya menunjukkan berapa banyak orang yang tertular dari satu orang yang terinfeksi sebelumnya, di dalam populasi yang rentan tertular (susceptible). Di Hongkong, R dihitung harian dan ditampilkan live. Di Jerman, R menjadi acuan pemerintah untuk melonggarkan lockdown atau tidak. R-nya dihitung oleh Robert Koch Institute.

"Entah mengapa, Gugus Tugas Covid-19 tidak menyajikan estimasi R harian. Saya usahakan semampunya supaya angka ini ada," papar politikus PAN ini.

Dari analisis MA, kata Dradjad, terlihat jelas kurva jumlah kasus positif Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai, apalagi turun. Untuk Indonesia, baik rata-rata 5 harian maupun 14 harian, kurvanya masih "mendongak". Trennya naik. Ini baik dari SMA maupun EMA.

"Jadi, data nasional sama sekali tidak mendukung pelonggaran PSBB dalam waktu dekat ini. Sementara untuk DKI, kita harus lihat dulu data beberapa hari ke depan," ungkapnya.

Itu baru gambaran awal. Tanpa perkembangan harian R, kata Dradjad, hanya bisa meraba-raba di kegelapan. Untuk pelonggaran, jelas dia, R harus kurang dari satu. Artinya, penyebaran virus relatif terkendali.

Setelah R diketahui, jelas Dradjad, maka juga harus punya protokol baru. Itu yang disebut the New Normal. Protokol ini harus spesifik. Misalnya, bagaimana aturan jaga jarak di Pasar Tanah Abang, restoran dan kafe, supermarket, tukang cukur, ojol, kaki lima, hingga pasar tradisional

Semua aturan ini punya konsekuensi keuangan. "Ojol misalnya, apa boleh membawa penumpang? Ojol tanpa penumpang jelas 'ambyar'. Jika boleh, apa penumpangnya harus bawa helm sendiri? Risiko penularan virusnya tinggi jika helm dipakai bergantian," paparnya.

Intinya, kata Dradjad, perlu hati-hati, ilmiah dan matang persiapannya sebelum melonggarkan PSBB agar pandemi Covid-19 tidak meledak lagi, yang justru makin tinggi daya rusaknya terhadap sektor kesehatan, ekonomi, dan kehidupan bangsa keseluruhan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: