Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Amerika Serikat dan Demokrasi yang Semu

Oleh: Tofan Mahdi, Praktisi Komunikasi, Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos (2007), & Pemimpin Redaksi SBO TV (2009)

Amerika Serikat dan Demokrasi yang Semu Kredit Foto: Istimewa

Bias Gender

Dalam Pilpres Amerika Serikat 2016, saya menyampaikan kritik kepada beberapa teman saya yang bekerja di media. Liputan mereka tentang kampanye antara Donald Trump dan Hillary Clinton terlalu bias. Bias dan terlalu berpihak kepada Hillary. Teman-teman saya tadi sepertinya mengikuti tren pemberitaan TV-TV di Amerika khususnya CNN. Terkesan, Hillary sangat dielu-elukan, Trump dikecam. Hasilnya? Meleset semua. Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 menggantikan Barrack Hussein Obama.

Andaikan saat itu kandidat dari Partai Demokrat adalah seorang laki-laki, sangat mungkin Trump akan kalah. Namun, karena Partai Demorkat mencalonkan Hillary, meskipun lawannya adalah sosok kontroversial, akhirnya rakyat Amerika tetap memilih Trump. Apalagi dalam sistem pilpres dengan electoral college di mana popular vote tidak menjamin kemenangan dalam pilpres, makin sulit mengalahkan Trump apalagi di wilayah-wilayah yang menjadi basis pendukung Partai Republik.

Baca Juga: Resmi! Donald Trump 'Ceraikan' Hubungan Amerika-WHO

Selain rasisme, isu lain yang tidak kalah hangatnya di AS adalah bias gender. Meskipun kajian feminisme berasal dari Amerika, dalam hal ini Indonesia lebih maju. Indonesia yang baru berusia 75 tahun sudah pernah memilki presiden seorang wanita, sedangkan Amerika yang sudah merdeka 244 tahun masih menganggap wanita sebagai warga negara kelas dua. Para elite politik, juga banyak masyarakat Amerika, masih berpikiran male chauvinis. Lelaki lebih superior daripada wanita. Sebuah pemikiran kuno yang sudah didobrak RA Kartini pada awal 1900-an.

Kita lihat saja data statistik berapa banyak jumlah wanita yang pernah menjadi menteri dalam sejarah pemerintahan Amerika Serikat? Tentu setelah amandemen ke-19 Konstitusi Amerika tahun 1920 karena sebelumnya tidak mungkin seorang wanita bisa menjadi pejabat baik di tingkat negara bagian maupun pada pemerintahan federal. Sepanjang satu abad tersebut saja, total baru tercatat hanya 32 orang wanita yang pernah menjadi menteri dalam pemerintahan AS.

Pada masa pemerintahan Obama, ada 4 orang wanita yang menjabat menteri, salah satunya adalah Hillary Clinton sebagi menteri luar negeri. Sementara pada pemerintahan Trump saat ini hanya ada dua orang menteri wanita yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Pendidikan. Kabar baiknya adalah makin banyak wanita yang duduk di Parlemen Amerika, persentasenya hampir sama dengan Indonesia sekitar 20% dari total anggota Kongres dan Senat.

Amerika Serikat memang tanah impian bagi siapa saja. Namun, mimpi tidak selalu seindah warna aslinya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: