Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bertahan di Tengah Gempuran Covid-19, Indonesia Kini Lebih Siap

Bertahan di Tengah Gempuran Covid-19, Indonesia Kini Lebih Siap Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Jakarta -

Krisis ekonomi global bukan lagi prediksi, tetapi sudah terjadi akibat pandemi Covid-19. Pandemi ini juga telah mengubah tatanan global secara dramatis. Tak hanya menjadi masalah kesehatan, penyebaran virus ini juga melumpuhkan roda perekonomian global.

Kantor-kantor, pabrik, dan pusat perbelanjaan tutup, transportasi sebagian besar berhenti beroperasi, alhasil banyak perusahaan yang mengurangi jumlah pegawainya. Alhasil pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2020 juga hanya sebesar 2,97 persen. Kuartal berikutnya diperkirakan mendapatkan tantangan lebih berat.

Dengan asumsi puncak pandemi akan terjadi pada kuartal kedua dan mulai surut pada paruh kedua 2020, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global akan menciut dan terkontraksi hingga minus 3 persen. Proyeksi IMF tersebut jauh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang mencapai 2,9 persen.

Baca Juga: Caplok Rabobank, BCA Rogoh Kocek Rp500 Miliar

Angka tersebut—dimuat dalam World Economic Outlook yang dirilis IMF pada 13 April—merupakan kemerosotan ekonomi terburuk sejak The Great Depression yang melanda dunia tahun 1929 dan krisis finansial global pada 2008-2009.

Saat krisis finansial pada 2008, ekonomi global menyusut minus 0,1 persen. Ekonomi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, menjadi yang paling terpukul oleh pandemi ini.

Hal yang menjadi kekhawatiran adalah kondisi perekonomian bisa menjadi lebih buruk lantaran tingginya ketidakpastian. "Ada ketidakpastian ekstrim di seluruh dunia terhadap perkiraan pertumbuhan ekonomi," tulis IMF dalam laporan tersebut.

Bila puncak pandemi dan pemulihannya mundur dari perkiraan, maka perekonomian global diprediksi bakal terperosok lebih dalam lagi.

Menurut IMF, dampak ekonomi bergantung pada faktor-faktor yang sulit diprediksi, seperti epidemiologi virus, kemanjuran upaya pembatasan, serta perkembangan temuan pengobatan dan vaksin.

 

Ditambah lagi, kini semakin banyak tekanan yang dihadapi negara-negara di seluruh dunia, antara lain krisis kesehatan, keuangan, dan runtuhnya harga komoditas. Bahkan, sekalipun pandemi berakhir, lanskap ekonomi global sudah tak sama lagi. Efeknya lebih buruk dari krisis ekonomi 2008.

Kerugian secara global bisa melebihi US$9 triliun atau lebih dari 10 persen produk domestik bruto (PDB) global. Kelumpuhan ekonomi yang dimulai dari Tiongkok ini menjalar ke hampir seluruh negara di dunia.

Krisis ekonomi kali ini jauh beda dari krisis pada 1998 dan 2008, baik dari penyebab maupun dampaknya. Saat krisis ekonomi 1998, nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terjun bebas dari kisaran Rp2.000 menjadi Rp15.000 per dolar. Jatuhnya rupiah memukul perusahaan-perusahaan besar dan lembaga keuangan yang memiliki utang dalam mata uang dolar dengan jumlah besar.

Ketika itu, hal yang menjadi bantalan penyangga perekonomian Indonesia justru usaha-usaha kecil yang sama sekali tidak punya utang dalam mata uang dolar. Mereka mampu bertahan hidup dengan bergantung pada permintaan pasar dalam negeri.

Selain itu, besarnya pasar dalam negeri pula yang membuat Indonesia bertahan dari krisis ekonomi 2008, yang dipicu rontoknya sub-prime mortgage di Amerika Serikat.

Pengalaman melewati dua kali krisis ekonomi itu membuat Pemerintah Indonesia lebih siap menghadapi merosotnya perekonomian akibat pandemi Covid-19 saat ini.

Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan perbankan Indonesia, juga telah menyiapkan rupa-rupa protokol untuk menghadapi dampak pandemi.

Kondisi perbankan Indonesia saat ini pun jauh lebih sehat dan kuat dibandingkan saat krisis 1998. Hal ini terlihat dari kondisi rasio modal atau capital adequacy ratio (CAR) dan kredit bermasalah atau non- performing loan (NPL). Per Maret 2020 lalu, CAR perbankan Indonesia mencapai 21,77 persen dengan NPL 2,77 persen.

Masalahnya, krisis ekonomi kali ini memukul seluruh sendi perekonomian. Dari perusahaan besar sampai usaha mikro dan kecil hampir tidak ada yang bebas dari dampak pandemi. Semua kegiatan ekonomi dipaksa berhenti. Tingkat konsumsi masyarakat yang biasanya menjadi penggerak perekonomian terus turun.

Ketika kegiatan ekonomi terhenti, para pemangku kepentingan wajib memastikan seluruh warganya dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sejumlah negara telah menggelontorkan stimulus fiskal untuk menyelamatkan ekonomi dalam negeri agar tidak terpuruk lebih dalam akibat pandemi yang membuat seluruh sendi perekonomian lunglai.

Mengutip Kompas, sebanyak 183 negara sudah mengeluarkan stimulus yang ekstensif dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian. Stimulus tersebut, seperti insentif pajak, jaring pengaman sosial, penjaminan pinjaman, penurunan suku bunga, pelonggarankuantitatif (quantitative easing), dan lainnya.

Hal yang sama telah dilakukan Indonesia. Pemerintah telah mengalokasikan stimulus tahap ketiga mencapai Rp405,1 triliun untuk melawan Covid-19. Stimulus yang dikeluarkan mencapai 2,5 persen terhadap produk domestik bruto. Stimulus tersebut mencakup anggaran kesehatan sebesar Rp75 triliun, perlindungan sosial Rp110 triliun, dukungan untuk industri Rp70,1 triliun, dan program pemulihan ekonomi Rp150 triliun.

Baca Juga: Nasib Ekonomi Nasional Ada di Tangan Bank Sentral

Meski telah mengalokasikan stimulus yang cukup besar, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu ragu jika anggaran tersebut mencukupi. "Terus terang kami ragu itu cukup. Pemerintah akan siap-siap juga kalau tidak cukup, apa yang harus dilakukan, karena memang tanda-tanda yang kami lihat agak mengkhawatirkan," ujar Febrio dalam konferensi video di Jakarta, belum lama ini.

Untuk mengantisipasi kebutuhan anggaran penanganan pandemi Covid-19, Kementerian Keuangan telah bernegosiasi dengan Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IsDB).

"Dana darurat Covid-19 dari IsDB dalam proses negosiasi antara US$200 juta-250 juta," tulis Sri Mulyani usai mengadakan konferensi video dengan IsDB dalam akun Instagram resminya.

Sri Mulyani menjelaskan, dukungan IsDB tersebut merupakan hasil kerja sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembiayaan Infrastruktur Asia alias Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: