Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Eks Wamenkumham: Ambang Batas Pencalonan Presiden Munculkan Duitokrasi

Eks Wamenkumham: Ambang Batas Pencalonan Presiden Munculkan Duitokrasi Kredit Foto: Antara/Risky Andrianto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menilai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold telah mereduksi hak rakyat untuk memilih. Sebab, hanya mereka yang bisa lolos PT yang bisa mengajukan capres dan pilihan rakyat pun menjadi terbatas.

"Kalau kita bicara soal pemilu, ini kan pemilu langsung oleh rakyat akan direduksi dengan adanya presdential treshold," kata Denny dalam diskusi daring bertajuk 'Ambang Batas Pilpres, Kuasa Uang dan Presiden Pilihan Rakyat' yang diselenggarakan Voice for Change dikutip Senin (22/6/2020).

Baca Juga: Pakar Tata Hukum Negara: Ambang Batas Pencalonan Presiden Dimanfaatkan Cukong 'Tuk Kuasai Parpol!

Menurut Denny, yang tak kalah penting PT itu kemudian juga munculkan apa yang disebutnya yang membunuh demokrasi. Duitokrasi berasal dari kata duit alias uang.

"Demokrasi dibunuh oleh uang," kata Denny.

Bahkan, lanjut Denny, politik uang yang dimaksud dari istilah duitokrasi bukan sekadar memperjualbelikan suara rakyat (vote buying), tetapi memiliki arti yang lebih luas.

"Kalau kita sering menyebut politik uang itu sebenarnya yang dimaksud adalah vote buying. Padahal enggak, di dalamnya itu ada money politic, electoral corruption, ada political corruption dan banyak lagi yang lain," katanya.

Denny yang juga Ahli Hukum Tata Negara itu menambahkan praktik duitokrasi ini bisa disaksikan saat calon presiden dan wakil presiden yang tengah mencari dukungan dari partai politik karena imbas dari keberadaan presidential treshold.

"Ini semua termasuk jenis-jenis korupsi pemilu. Kalau kita bicara presidential threshold, yang paling berkaitan dengan itu adalah bagaimana calon kandidat presiden atau wakil presiden memberi mahar ke partai politik untuk bisa dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden," kata Denny.

Sementara itu, peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai syarat presidential treshold dalam pemilihan presiden 2019 telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat karena hanya menghasilkan dua calon pasangan presiden dan wakil presiden.

Padahal, esensi pemilu itu menghadirkan kompetisi yang sehat dan beradab serta mempromosikan integritas dan kualitas pasangan calon, bukan malah menutup kompetisi digantikan dengan cara aklamasi, karena calonnya tunggal.

Oleh karena itu, semangat yang harus dibawa dalam revisi UU Pemilu saat ini adalah untuk mendorong munculnya lebih dari 2 pasangan calon.

"Karena itu, motivasi revisi Undang-undang Pemilu kali ini harus bernuansa untuk mendorong munculnya calon lebih dari dua pasangan calon. Jadi, calon itu harus lebih dari dua pasangan sebagai ikhtiar transisi dan pembelajaran demokrasi baik untuk elite maupun masyarakat," ujar Siti Zuhro.

Aturan presidential treshold sebesar 20 persen digunakan pada Pilpres 2019 lalu. Hal itu menjadikan pasangan calon yang muncul hanya dua saja.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: