Untuk memulihkan ekonomi nasional pasca-pandemi Covid-19, pemerintah mengalokasikan Rp695,2 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Akibatnya defisit APBN tahun ini semakin melebar, menjadi 6,34%, setara 1.039,2 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho menilai melebarnya defisit disebabkan karena Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani tidak menghitung dengan akurat anggaran untuk pemulihan ekonomi atau untuk Covid-19. Akibatnya, alokasi anggaran dan program menumpuk pada APBN 2020 ini.
Yang lebih mengherankan, menurut Hardjuno, ada program pemerintah yang justru tidak berkaitan dengan Covid-19 atau pemulihan ekonomi. Namun, diikutsertakan dalam program pemulihan ekonomi. Misalnya, dana talangan buat BUMN, seperti Garuda dan BUMN lainnya. Padahal sebetulnya, keuangan BUMN sudah jelek sebelum Covid-19, tetapi dimasukan dalam APBN Covid-19.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Harus Lindungi UMKM dari Serbuan Modal Asing
"Makanya, jangan heran kalau defisit APBN membengkak. Saya kira Menkeu Sri Mulyani harus tanggung jawab sebagai bendahara negara," ujar Hardjuno, Selasa (23/6/2020).
Sebagaimana diketahui, defisit fiskal tahun ini diperkirakan akan melebar menjadi 6,34% atau setara Rp1.039,2 triliun terhadap PDB. Namun, pelebaran defisit APBN tahun ini terjadi karena pemerintah membutuhkan dana yang besar untuk penanggulangan dampak pandemi Covid-19. Salah satu peruntukannya, yaitu program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695,2 triliun.
Hardjuno juga mengkritisi pernyataan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa besaran defisit anggaran fiskal tahun ini akan menjadi beban pemerintah selama 10 tahun ke depan. Menurutnya, justru pemerintah sedang menyulut bom waktu yang akan meledak 10 tahun lagi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Rosmayanti