Dia menambahkan, dalam sistem parlementer, Perdana Menteri (PM) sebagai kepala eksekutif kerap rapat dengan anggota Parlemen. Karena PM dipilih oleh koalisi Parlemen, makanya disebut dengan parlementarisme.
Namun, lanjut dia, kalau eksekutif di presidensialisme yang tidak dipilih oleh parlemen karena dipilih langsung oleh rakyat. Karena itu, tidak perlu rapat, presiden bisa memutuskan sendiri.
"Kalau koordinasi okelah, tapi pada dasarnya meng-entertain istilah rapat di dalam pemerintahan itu menurut saya tidak terlalu perlu, dan buang-buang waktu," ucap mantan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
"Sama juga kalau rapatnya dengan anak buah (menteri). Buat apa? Karena menteri itu kan semua dipilih oleh presiden, diajak rapat? Pecat saja kalau enggak oke. Jadi itu sebenarnya. Tapi oke kita hargai karena presiden menunjukkan sense of crisis dalam situasi seperti ini," sambungnya.
Maka itu secara terus terang, Fahri Hamzah miris melihat Presiden Jokowi sampai menyampaikan semacam kemarahan. Namun, Fahri Hamzah menganggap itu bukan kemarahan, tetapi semacam frustrasi sebenarnya.
"Padahal, saya sudah sering mengomentari cara seharusnya presiden mengelola lembaga kepresidenan. Tidak boleh presiden itu kelihatan emosi, kelihatan marah, kecewa atau kelihatan putus asa," katanya.
Karena menurut Fahri, sistem presidensial di mana presiden dipilih oleh 267 juta rakyat Indonesia. Seluruh suara rakyat itu diserahkan kepada satu orang, untuk mewakilinya memimpin republik ini.
"Dan karena itu sebenarnya presiden adalah orang yang paling kuat karena mendapatkan mandat dari semua orang atau powerful," pungkas Fahri Hamzah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: