"Peluang-peluang dari usaha mengurangi ketergantungan rantai pasokan obat terhadap China harus ditangkap dan dieksekusi dengan baik. Agar Indonesia masuk ke dalam GVC sektor farmasi, tentu pemerintah harus mengerti bagaimana GVC bekerja dan serius membenahi berbagai hambatan regulasi agar Indonesia bisa jauh lebih menarik dibandingkan produsen farmasi kelas kakap, seperti China dan India," imbuhnya menyarankan.
Indonesia harus berupaya menembus pasar farmasi dunia. Bukan hanya fokus pada pasar dalam negeri. Pasar farmasi dalam negeri relatif masih kecil dibandingkan Amerika dan Jerman yang 50 kali lipat besarnya daripada Indonesia. China, dengan kapasitas produksi API yang sudah terpakai 70% dan mampu memproduksi 1.500-2.000 jenis bahan baku, ukuran pasarnya 12 kali lebih besar dari negeri ini. India pun pasarnya dua kali lipat dari Indonesia dan baru menggunakan 30-40% dari kapasitas produksi API-nya.
"Peluang menangkap restrukturisasi mata rantai pasokan global bisa saja sia-sia kalau Indonesia tidak membenahi regulasi. Rumit dan berlapisnya regulasi sudah sering dikeluhkan, penyebab rendahnya pertumbuhan FDI di Indonesia."
Data BKPM menyebut pertumbuhan FDI per triwulan nyaris 0% sejak triwulan II 2019. Data Bank Dunia juga menunjukkan sebanyak 137 perusahaan Jepang merelokasi usahanya ke Asia Tenggara pada 2017 dan hanya 10 perusahaan yang masuk ke Indonesia. Dua tahun setelah itu, 33 perusahaan pindah dari China, tapi tidak ada yang masuk ke Indonesia.
Regulasi yang berlapis-lapis juga tampak di sektor farmasi. "Ketika Presiden Jokowi ingin mengembangkan industri farmasi di 2016, beliau memberikan instruksi ke 12 kementerian dan lembaga untuk mengatur sektor ini. Tentu ini meningkatkan risiko tumpang tindihnya peraturan," ujarnya.
Andree menjelaskan, pemerintah menetapkan berbagai peraturan yang kurang cocok dengan tren GVC di farmasi. Undang-Undang (UU) 13/2016 tentang Perlindungan Kekayaan Intelektual menyebut jika produk yang dipatenkan di Indonesia tidak diproduksi di Indonesia dalam jangka waktu tertentu, paten produk tersebut bisa dicabut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: