Lanjutnya, ia juga menjelaskan selain meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja Pertamina, FSPPB juga bertugas menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan serta memperjuangkan kedaulatan energi nasional. Karena itu FSPPB berkepentingan mengajukan Uji Materil ke Mahkamah Konstitusi sebagai akibat dari adanya ketidakpastian hukum dalam Undang-Undang BUMN.
Menurut Arie, FSPPB teguh memegang tujuan dibentuknya Pertamina, yaitu membangun dan melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara, serta menciptakan ketahanan nasional. “Hal itu diatur tegas dalam UU Nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara,” teganya.
Sementara itu, Kuasa Hukum FSPPB Janses Sihaloho dari Kantor Advokat Sihaloho & Co, menjelaskan, Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN melarang induk perusahaan BUMN (Perusahaan Persero) tertentu untuk diprivatisasi, yaitu persero yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat serta persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam.
Namun, menurutnya, kata “Persero” pada pasal tersebut hanya mengatur secara tegas larangan induk perusahaan BUMN (Perusahaan Persero) untuk diprivatisasi.
Sementara, lanjut Janses, banyak anak perusahaan BUMN yang hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN.
Hal itulah yang membuka peluang anak perusahaan untuk diprivatisasi. Padahal bidang usaha anak perusahaan tersebut berkaitan erat dengan bidang usaha induk perusahaan yang dilarang untuk diprivatisasi.
“Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang kata “Persero” tidak diartikan sebagai Persero dan Perusahaan milik Persero atau Anak Perusahaan Persero,” ujar Janses.
Menurut Janses, Mahkamah Konstitusi yang dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution) berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pada pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. “Terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi,” kata Janses.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil