Bursa saham di Indonesia terlalu bias usaha besar sehingga tidak mengherankan bila pada akhirnya jumlah emiten tidak bertambah signifikan dari tahun ke tahun. Karena itu, lantai bursa keuangan perlu diisi oleh kelompok usaha skala UMKM.
Demikian diungkapkan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah. Dia pun mendorong otoritas keuangan dan pemerintah membuka akses pembiayaan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui bursa agar pembiayaan tidak bertumpu pada APBN yang jumlahnya terbatas.
Baca Juga: Hary Tanoe Konfirmasi Langsung Bila MVN Bakal Jual Saham Lagi
"Otoritas bursa tinggal memastikan kelayakan dan kesehatan usaha, sekaligus prospek bisnisnya," ujar Said Abdullah di Jakarta, Jumat (31/7/2020).
Menurutnya, APBN Tahun 2021 akan menghadapi tantangan yang berat ke depan. Hal ini diperparah situasi ekonomi global yang berkembang sangat dinamis, penuh dengan ketidakpastian. Karena itu, fokus penyusunan RAPBN harus diarahkan pada upaya percepatan pemulihan ekonomi dengan melakukan berbagai transformasi struktural yang berkelanjutan.
"RAPBN yang disusun kredibel dalam membaca masalah pada tahun 2021. Sebab, kekusutan masalah sektor ekonomi akibat Covid-19 menjadi tali-temali kusut sekaligus pelik. Saya kira, perlu kejernihan pemikiran agar kebijakan yang kita susun pada tahun depan akurat mengurai kusutnya masalah," jelasnya.
Said mengatakan, situasi pandemi Covid-19 ini membutuhkan kebijakan extraordinary yang berdampak pada postur APBN 2021. Sebab, APBN 2021 akan menjadi faktor kunci dalam orkestra pemulihan ekonomi nasional.
Untuk itu, dia menyarankan agar APBN 2021 fokus pada beberapa hal. Pertama, menjaga kelangsungan program Bantuan Sosial (Bansos) yang beragam. Program ini untuk menjaga daya beli rumah tangga kelompok bawah. Kebijakan ini harus ada dengan pembaruan data dan efisiensi penyaluran sehingga program Bansos efektif sebagai automatic stabilizer.
Kedua, intervensi hulu sampai hilir pada sektor UMKM, khususnya sektor primer dan ekspor, mengingat sumbangsih UMKM pada PDB sebesar 60%. Evaluasi terhadap intervensi sektor UMKM pada tahun ini adalah keterlambatan penyaluran likuiditas. Pembatasan sosial dimulai per Maret 2020, tetapi penyaluran bantuan likuiditas untuk UMKM melalui penempatan dana pemerintah pada perbankan baru mulai Juli 2020.
"Keterlambatan bantuan ini berkonsekuensi menahan laju pemulihan ekonomi. Per Juli 2020 survei ADB, dari 60 juta UMKM sebanyak 48,6% di antaranya sudah tutup usaha," ujar Said.
Ketiga, mitigasi terhadap seluruh risiko keuangan yang dihadapi oleh BUMN. Sebab, kegagalan aksi korporasi BUMN ditahun sulit seperti saat ini, apalagi BUMN strategis akan berkonsekuensi pada penggunaan APBN sebagai last resort. Secepatnya pula, pada tahun ini seluruh tanggungan pemerintah terhadap BUMN segera diselesaikan sehingga pertanggungan tidak berefek hingga tahun depan.
Keempat, kebijakan fiskal ekspansif melalui penambahan utang pemerintah pada tahun depan harus mampu dikompensasi dengan peningkatan rasio penerimaan negara, baik pajak maupun nonpajak. Untuk itu, berbagai kemudahan dan insentif perpajakan tahun depan harus mulai selektif. Hanya sektor-sektor strategis dan perlu recovery dari dampak Covid-19 yang mendapat fasilitas perpajakan.
Target penambahan penerimaan pada tahun depan sebagai bukti belanja pemerintah harus punya dampak ekonomi. Salah satu ukuran punya dampak ekonomi adalah bertambahnya basis penerimaan. Bila rasio utang naik, rasio penerimaan tidak naik dalam beberapa tahun fiskal menandakan belanja pembangunannya tidak produktif.
"Kita memaklumi, penerimaan tahun ini, khususnya sektor perpajakan turun. Turunnya perpajakan tahun ini memang kita rencanakan," imbuhnya.
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini menegaskan, penurunan penerimaan perpajakan tahun ini juga sebagai konsekuensi dari fasilitas perpajakan yang digunakan untuk membantu pelaku usaha. Namun, capaian rasio pajak Indonesia memang cenderung menurun beberapa tahun ini.
Sekadar mengingatkan, rasio perpajakan beberapa tahun terakhir cenderung turun sejak tahun 2012 sampai sekarang. Tahun 2012 rasio perpajakan sempat 14% PDB terus melandai 2014 menjadi 13,1%, 2017 menjadi 10,1%, dan tahun 2019 menjadi 9,7%. Sebaliknya, rasio utang malah naik akibat Covid-19 dinaikkan sampai 36% pada tahun ini. Maka, kenaikan rasio utang harus mampu dibayar pemerintah dengan kenaikan rasio penerimaan mulai tahun depan.
Kelima, bauran kebijakan fiskal dan moneter, terutama skema burden sharing pada tahun depan perlu dikembangkan kerja samanya antara pemerintah dan BI. BI juga harus lebih antisipastif dalam kebijakan currency dan devisa sebab pertumbuhan PDB kita yang signifikan seolah tiada arti bila tergerus oleh selisih kurs yang tajam depresiasinya.
"Per Desember 2010, kurs transaksi BI masih pada level rata-rata Rp9.000/US$, kini Juli 2020 pada kisaran Rp 14.600/US$," jelasnya.
Keenam, skema partisipasi pembiayaan, khususnya yang bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) harus mulai melibatkan seluas-luasnya rakyat. Hal ini secara perlahan mengurangi proporsi kepemilikan asing untuk mengurangi risiko ekonomi dan politik. Jepang jelas Said rasio utangnya terhadap PDB mencapai 230%. Namun, surat utang Jepang dijual ke rakyatnya sendiri lebih dari 70%.
"Saya kira, Kementerian Keuangan dan BI sebaiknya lebih agresif mendorong pembelian SBN kita dominan dimiliki rakyat sendiri. Literasi dan kemudahan pembelian SBN perlu difasilitasi," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum