Sayangnya, jalan Listyo menuju kursi Kapolri diperkirakan tidak begitu mulus. Eks ajudan Presiden Jokowi ini bakal digoyang isu agama. Mengingat, jenderal bintang tiga itu seorang Nasrani.
Pengamat Intelijen dan Keamanan Stanislaus Riyanta mengatakan, kasus SARA sudah pernah dialami Komjen Listyo. Saat itu, Listyo banyak ditentang terkait jabatannya sebagai Kapolda Banten pada 2016. Salah satu yang mengkritik adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Hal ini tentu mungkin terjadi lagi seandainya Komjen Listyo dicalonkan menjadi Kapolri," ujar Stanislaus semalam.
Apalagi, dalam sejarah Kepolisian, baru ada satu jenderal non-Muslim yang pernah menjabat sebagai Kapolri. Dia adalah Jenderal (Purn) Widodo Budidarmo yang beragama Kristen.
Listyo sebetulnya berpeluang besar menjadi pengganti Jenderal Idham Azis. Bintang di pundaknya sudah tiga. Jabatannya sebagai Kabareskrim, strategis. Apalagi beberapa Kapolri juga sebelumnya menjabat Kabareskrim. Termasuk Idham Azis. Selain itu, pensiun Listyo juga masih jauh, 2027. Keunggulan lain, dia dekat dengan Presiden Jokowi karena pernah menjadi ajudannya.
Namun, ada faktor-faktor lain yang juga dipertimbangkan. Yakni, resistensi dari masyarakat atau catatan-catatan yang pernah ada. Tetapi Stanislaus menyatakan, kewenangan memilih Kapolri ada di tangan Presiden Jokowi. "Siapa pun yang dicalonkan tentu sudah dikalkulasi dengan cermat oleh Presiden," tandasnya.
Anggota Kompolnas Poengky Indarti menegaskan, identitas agama tidak menjadi syarat untuk menjadi calon Kapolri. Pasal 11 Ayat 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebut, calon Kapolri adalah perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier. Dalam undang-undang tersebut, tak ada syarat yang secara eksplisit menyebutkan seorang calon Kapolri mesti berasal dari agama tertentu.
"Tolong dibaca," ujarnya. "Kami dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden tetap berpegang pada aturan Undang-Undang Polri," imbuh Poengky.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai, terlalu prematur jika penangkapan Djoko Tjandra dikaitkan dengan pencalonan Listyo sebagai Kapolri. "Terlalu prematur bila hanya berlandaskan prestasi yang satu ini," beber Emrus.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane juga punya pendapat serupa. "Ada saja pihak-pihak yang mengaitkan penangkapan Djoko Tjandra dengan bursa calon Kapolri, padahal hal itu tidak ada kaitannya dan situasinya jauh panggang dari api," tegasnya.
Sebaiknya, kata Neta, semua pihak bersabar menunggu momentum pergantian Kapolri. Dalam penilaian Neta, urusan pergantian pucuk pimpinan Korps Bhayangkara itu baru dilakukan setelah Presiden Jokowi merombak Kabinet Indonesia Maju.
Bagaimana dengan DPR? Para anggota Dewan hanya memuji kinerja Listyo dan jajarannya membawa pulang Djoko Tjandra. Namun, tak mau menilai layak tidaknya dia menjadi Kapolri.
"Itu kewenangan Presiden, kami tak mau mendahului," ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, semalam.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil