Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi sorotan publik. Hal tersebut terjadi lantaran kabar bahwa perusahaan negara tersebut mengalami tekor hingga Rp11 triliun.
Diketahui, pada semester I-2020, Pertamina mencatatkan kerugian mencapai US$767,91 juta, atau setara Rp11,13 triliun dengan asumsi kurs Rp14.500 per dolar Amerika Serikat.
Baca Juga: Buat Pertamina Tekor Rp11 T, Mending Ahok Balik ke Habitatnya
Baca Juga: Pertamina Rugi, Ahok Gak Becus Kerja
Sementara itu, sebelum Ahok dilantak menjadi Komisaris Utama Pertamina pada 25 November 2019 lalu, pada periode yang sama tahun lalu Pertamina mampu meraup untung sebesar US$659,95 juta atau sekitar Rp9,56 triliun.
Saat dipimpin Direktur Keuangan Pertamina Pahala N Mansury, perseroan mencatat pencapaian laba bersih semester I-2019 mengalami peningkatan 112 persen dibanding periode yang sama pada 2018.
Ia mengatakan pencapaian pada semester I-2019 itu sebesar US$660 juta atau setara Rp9,4 triliun, lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp4,4 triliun.
Terkait ini juga, nama Ahok sempat menjadi trending di twitter, dan namanya disebut sebanyak 6 ribu lebih, termasuk komentar Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu.
Diketahui, Said Didu sempat mengomentari kerugian yang dialami Pertamina. Menurut dia, Pertamina bisa saja tidak mengalami kerugian, jika Ahok menjalankan tugasnya dengan baik.
“Dulu saya sdh katakan bhw Ahok sbg Komut jika ditugaskan utk: 1) memagih utang ke pemerintah, 2) minta blok migas dari MenESDM, 3) minta ke Presiden agar tdk membebani Pertamina, 4) menemui DPR agar diberikan anggaran utk penugasan,” tulisnya dalam akun Twitternya, Selasa (25/8/2020).
Lanjutnya, ia menyebutkan salah satu penyebab kerugian Pertamina adalah utang dari pemerintah sendiri yang belum dibayarkan.
“Salah satu penyebabnya, pemerintah tdk bayar utang ke Pertamina. Kalau tdk “peras” rakyat dg tdk turunkan BBM ruginya makin besar,” jelasnya.
Sementara itu,, VP Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, menjelaskan pada periode tersebut, Pertamina menghadapi triple shock yakni penurunan harga minyak mentah dunia, penurunan konsumsi BBM di dalam negeri serta pergerakan nilai tukar dolar yang berdampak pada rupiah sehingga terjadi selisih kurs yang cukup signifikan.
“Pandemik COVID-19 dampaknya sangat signifikan bagi Pertamina. Dengan penurunan demand, depresiasi rupiah, dan juga crude price yang berfluktuasi yang sangat tajam membuat kinerja keuangan kita sangat terdampak,” ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Senin, 24 Agustus 2020.
Menurut Fajriyah, penurunan demand tersebut terlihat pada konsumsi BBM secara nasional yang sampai Juni 2020 hanya sekitar 117 ribu kilo liter (KL) per hari atau turun 13 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang tercatat 135 ribu KL per hari. Bahkan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota besar terjadi penurunan demand mencapai 50 persen-60 persen.
“Namun, Pertamina optimis sampai akhir tahun akan ada pergerakan positif sehingga diproyeksikan laba juga akan positif, mengingat perlahan harga minyak dunia sudah mulai naik dan juga konsumsi BBM baik industri maupun retail juga semakin meningkat,’” ujar Fajriyah.
Fajriyah menambahkan, optimisme Pertamina untuk mencapai kinerja positif di akhir tahun juga terlihat dari keberhasilan pencapaian kinerja positif pada laba operasi Juni 2020 sebesar US$443 juta dan EBITDA sebesar US$2,61 miliar yang menunjukkan kegiatan operasional Pertamina tetap berjalan dengan baik.
Untuk itu, lanjut Fajriyah, Pertamina telah melakukan sejumlah inisiatif untuk perbaikan internal dengan tetap melakukan penghematan sampai 30 persen. Tak hanya itu, Pertamina juga melakukan skala prioritas rencana investasi, renegosiasi kontrak eksisting serta refinancing untuk mendapatkan biaya bunga yang lebih kompetitif.
“Pertamina juga terus meningkatkan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) sehingga menurunkan tekanan kurs dan bisa menekan biaya secara umum,” imbuh Fajriyah.
Menurut Fajriyah, kendati perusahaan mengalami rugi bersih pada semester I 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, Pertamina tetap memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat agar pergerakan ekonomi nasional tetap terjaga.
"Meski demand turun, seluruh proses bisnis Pertamina berjalan dengan normal. SPBU tetap beroperasi, pendistribusian BBM dan LPG juga tetap terjaga baik, kami memprioritaskan ketersediaan energi bagi rakyat," tegas Fajriyah.
Pertamina, lanjut Fajriyah, juga tetap menjalankan proyek strategis nasional di sektor hulu seperti Jambaran Tiung Biru (JTB), tetap melakukan pengeboran sumur migas yang sudah berjalan serta terus menuntaskan megaproyek RDMP dan GRR untuk membangun ketahanan dan kemandirian energi nasional.
“Secara total produksi minyak dan gas bumi Pertamina Group baik untuk aset domestik maupun internasional mencapai 884,1 MBOEPD (ribu barel setara minyak per hari). Bahkan beberapa anak perusahaan hulu Pertamina pun mencatat kinerja positif dengan capaian target produksi sesuai target," terang dia.
Sejalan dengan Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), konsumsi BBM dalam negeri telah meningkat, dari sebelumnya diprediksikan penurunan 20 persen, kini penurunannya menjadi hanya sekitar 12 persen.
“Peningkatan konsumsi BBM yang signifikan menunjukkan ekonomi nasional yang terus tumbuh di berbagai sektor, karena itu Pertamina optimis kinerja akhir 2020 tetap akan positif,” ujarnya
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil