Terdapat beberapa alasan pengajuan revisi UU BI antara lain independensi yang berlebih dan tujuan bank sentral yang dipersempit mengakibatkan kebijakan moneter tidak berperan optimal dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, kebijakan moneter dinilai tidak dapat berperan serta dalam situasi darurat yang membahayakan ekonomi negara.
Kemudian kebijakan ekonomi makro yang efektif membutuhkan koordinasi moneter dan fiskal yang kuat untuk mendorong perekonomian, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Banjir Kritik
Banyak kritikan terhadap rencana pembetukan Dewan Moneter yang dianggap membawa kembali Indonesia ke era Orde Lama. Saat Orde Lama, BI dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasihat.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai rencana pembentukan kembali Dewan Moneter adalah kemunduran bagi bank sentral di Indonesia. Pembentukan Dewan Moneter dinilai bisa menghancurkan sistem moneter Indonesia dan mengganggu independensi Bank Indonesia.
Menurutnya, koordinasi kebijakan moneter, fiskal, dan sistem keuangan sudah diwadahi dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
"Kita tidak membutuhkan Dewan Moneter. Dewan Moneter itu masa lalu yang menggunakan rujukan UU BI yang lama, yang sudah tidak berlaku" kata Piter.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, mengingatkan hal serupa bahwa pembentukan kembali Dewan Moneter akan mengancam stabilitas sistem moneter dan keuangan Indonesia. Hal itu karena kepercayaan pelaku pasar keuangan akan ikut tergerus seiring pelemahan fungsi pengawasan oleh bank sentral.
"Padahal selama ini BI sudah mampu menjaga kepercayaan pasar keuangan kita seperti menjunjung tinggi semangat independensi," sebutnya.
Didik menilai keterlibatan perwakilan pemerintah dalam Dewan Moneter akan berpotensi mengembalikan fungsi pengawasan bank sentral seperti di era Orde Baru. Hal ini tentu akan berdampak negatif pada independensi BI.
"Sekarang ini ada Perppu untuk Dewan Moneter. Ini kacau lagi, kekuasaan yang liar akan masuk ke sistem moneter dan ini akan balik ke Orde Baru. Ini sangat membahayakan," kata Didik.
Sementara itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri terdapat landasan pemikiran yang keliru atas rencana pembentukan Dewan Moneter dalam memberi respons atas krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Ia menegaskan sektor keuangan masih berada pada kondisi yang baik di tengah pandemi Covid-19.
"Apa salahnya moneter ini? Semua kita lihat tadi, enggak ada salah moneter karena yang salah tax ratio kecil, turun terus, gagal menarik pajak dari sektor ekonomi yang terus tumbuh," kata Faisal Basri.
Ia menegaskan semakin cepat pemerintah memberi kepastian terkait berakhirnya Covid-19 maka akan semakin cepat juga masyarakat menggunakan uang untuk melakukan konsumsi. Ia menyebutkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan masih sangat tinggi yaitu 8 persen yang mengindikasikan bahwa masyarakat lebih banyak menabung untuk berjaga-jaga daripada melakukan konsumsi.
"Itu karena masyarakat menghadapi ketidakpastian selesainya Covid-19. Masalahnya di fiskal dan kementerian teknis, tapi ini moneter yang diobok-obok," kata Faisal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajria Anindya Utami
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: