Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Seberapa Siap Indonesia Pulihkan Ekonomi Pascapandemi?

Seberapa Siap Indonesia Pulihkan Ekonomi Pascapandemi? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

2020 merupakan tahun yang menantang bagi Indonesia. Sempat ditargetkan mencapai angka di atas lima persen hingga awal tahun ini, pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pandemi Covid-19 yang melanda pada awal Maret lalu.

Dalam acara virtual DBS Asian Insights Conference 2020 bertajuk Navigating a Brave New World belum lama ini, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengatakan Covid-19 memiliki dampak berganda.

"Pandemi Covid-19 tidak hanya kondisi darurat kesehatan, tetapi juga ekonomi, dan bahkan ada beberapa negara yang telah memasuki kondisi darurat sosial serta politik," ujar Ridwan Kamil.

Baca Juga: Sri Mulyani Memohon ke DPR, Minta Dana Tambahan Rp938 M

Baca Juga: Erick Thohir Suntik 9 BUMN Senilai Rp42,3 Triliun, Belum Termasuk PNM!

Dalam acara yang diinisiasi oleh PT Bank DBS Indonesia ini, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menuturkan bahwa Covid-19 memiliki risiko yang relatif tinggi dan harus segera dimitigasi. Ia menjelaskan bahwa Indonesia harus bersiap akan adanya tantangan yang lebih besar bagi perekonomian nasional.

"Ini adalah kenormalan baru di tengah pandemi. Sehingga, meski besar tantangan yang dihadapi, perlu dipastikan bahwa Indonesia tidak terjerembab ke jurang krisis. Oleh karenanya, perlu penanganan yang tepat untuk memulihkan kembali ekonomi nasional," jelas Piter.

Kementerian Keuangan menerangkan bahwa perekonomian nasional akan ditentukan seluruhnya oleh pemulihan di kuartal ketiga (Q3) dan keempat (Q4). Pemerintah saat ini masih akan menggunakan skenario pertumbuhan ekonomi 2020 di level minus 0,4 hingga 2,3 persen.

Agar terhindar dari krisis, pemerintah sudah menyiapkan beberapa strategi guna memulihkan perekonomian dan daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian. Pemerintah memberikan insentif kepada masyarakat berupa penundaan pemungutan pajak selama enam bulan bagi pajak penghasilan (PPh) pasal 21, 22, dan 25. Selain itu, relaksasi bea masuk ekspor untuk dunia industri juga diberikan keringanan.

Staf Khusus Kemenkeu Masyita Crystallin juga menuturkan bahwa pemerintah menggandeng bank sentral untuk mengatasi pemulihan ekonomi akibat pandemi.

"Yang kami lakukan bukanlah printing money atau helicopter money. Skema yang kami lakukan tetap sesuai pasar dan tetap jadi instrumen moneter. Ketika Bank Indonesia perlu, instrumen itu bisa langsung ditarik," pungkasnya.

Dia melanjutkan, langkah yang dilakukan Kemenkeu untuk menghindari kontraksi ekonomi dan keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ialah dengan menerbitkan sukuk global dengan yield yang baik.

"Prioritas utama pemerintah saat ini adalah barang publik berupa jaminan sosial dan kesehatan yang alokasinya mencapai Rp300 triliun," tuturnya.

Masyita setuju bahwa perlu memprioritaskan mitigasi kontraksi ekonomi agar dampaknya tidak besar di masyarakat. Maka, pemerintah terus mengalkulasi strategi anggaran untuk lebih fleksibel dalam menghadapi kontraksi. "APBN sendiri mengalami tekanan kiri dan kanan," ucap Masyita.

Meski dibandingkan negara lain defisit fiskal nasional cenderung sedang dan akses pasar internasional cukup baik, Indonesia tetap perlu mewaspadai tekanan APBN ke depannya. Sehingga, pemerintah melakukan pelebaran defisit tiga persen selama tiga tahun pada postur APBN 2020.

"Kenapa butuh tiga tahun? Jika kita berhenti pada periode recovery, akan muncul economic shock mendadak. Kalau sudah recovery tahun depan, masyarakat dan dunia usaha sudah siap pick up lagi," kata Masyita.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan terdapat dua cara yang dapat dilakukan. Adapun strategi pertama ialah tetap menyeimbangkan penyebaran investasi Pulau Jawa dan luar Jawa.

Ia melihat terdapat peluang besar terkait pemerataan investasi di Indonesia. "Enam tahun terakhir, baru kali ini realisasi investasi di luar jawa hampir berimbang dengan Jawa. Jawa kurang lebih sekitar 51,4% sementara luar Jawa sekitar 48,6%," ujarnya.

Bahlil mengatakan ini disebabkan oleh pembangunan infrastruktur di luar Jawa yang saat ini perlahan mulai mendukung iklim investasi. Ia mencontohkan Sulawesi Utara dan Maluku Utara, mampu menjadi lima besar provinsi yang menjadi tujuan investasi.

Selain itu, BKPM juga tak hanya melayani investasi besar, tapi juga investasi kecil di seluruh daerah. Hal terpenting yang menjadi fokus saat ini ialah realisasi investasi yang menghasilkan produk substitusi impor guna meningkatkan nilai tambah ekonomi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: