Desakkan Tunda Pilkada Makin Kuat, Pakar Sebut Masih Ada Solusi Lain, Apa Tuh?
Wacana pengunduran pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 menyusul mengganasnya wabah COVID-19 di Indonesia dinilai bakal menimbulkan konsekuensi politis dan pemerintahan yang cukup besar.
Hal itu dikatakan pakar politik dan pemerintahan dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Firman Manan. Menurutnya, konsekuensi politis tersebut akan berdampak langsung terhadap peta politik yang telah rampung dibangun dan pemerintahan yang ujung-ujungnya menjadi beban masyarakat.
Baca Juga: Desakkan Kuat Tunda Pilkada, Jokowi Tolong Lupakan Tekanan Partai!
Firman mengakui, mengganasnya wabah COVID-19 menimbulkan kekhawatiran akan munculnya klaster-klaster pilkada. Meski begitu, dia mempertanyakan sampai kapan pilkada diundur di tengah ketidakjelasan kapan pandemi COVID-19 berakhir.
"Wacana pengunduran pilkada ini kan sudah lama bergulir. Tapi, kalau diundur sampai kapan? Karena kita pun tidak tahu kapan pandemi berakhir," ujar Firman kepada SINDOnews, Minggu (20/9/2020).
"Menurut saya, saat ini persoalannya bukan mundur atau tidak, tapi bagaimana kesiapan protokol kesehatannya," sambung Firman.
Dia menjelaskan, beban politis yang cukup besar dipastikan di depan mata saat Pilkada Serentak 2020 kembali diundur
Dia menyebut, peta politik yang telah rampung dibangun hingga melahirkan rekomendasi pasangan calon kepala daerah akan kembali mentah.
"Bayangkan, ini proses politik yang sudah selesai hingga menghasilkan rekomendasi calon kepala daerah akan mentah lagi. Kalau diundur, peta politik bisa kembali berubah, tidak ada jaminan tidak berubah, apalagi politik itu sifatnya dinamis," katanya.
Tidak hanya itu, beban politis besar lainnya yang berdampak langsung terhadap masyarakat adalah jalannya roda pemerintahan.
Pasalnya, saat masa jabatan kepala daerah habis, mau tidak mau daerah dipimpin oleh seorang pelaksana teknis (Plt) yang legitimasinya terbatas karena ditunjuk oleh pemerintah.
"Beda halnya dengan kepala daerah yang legitimasinya tinggi karena dipilih oleh rakyat. Seorang kepala daerah akan lebih leluasa memimpin daerahnya, beda halnya dengan Plt yang terbatas dalam menentukan kebijakan," ujarnya.
Apalagi, lanjut Firman, di tengah pandemi COVID-19 yang menyebabkan krisis kesehatan dan ekonomi, masyarakat membutuhkan seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan dan risiko dalam mengatasi dampak pandemi.
"Kalau hanya sekedar Plt, saya kira mereka hanya akan menjadi safety player. Padahal, di situasi krisis seperti ini, masyarakat butuh pemimpin yang berani mengambil keputusan, termasuk risikonya," tegasnya lagi.
Oleh karenanya, Firman kembali menekankan, bukan soal pilkada diundur atau tidak, melainkan kesiapan penyelenggara Pilkada Serentak 2020 dalam penerapan protokol kesehatan ketat untuk menekan potensi penularan COVID-19.
"Apalagi, sejumlah negara pun sukses menggelar pesta demokrasi di tengah pandemi, seperti Korea Selatan. Jadi, yang penting protokol kesehatan karena kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini berakhir," katanya.
Firman juga menekankan, Pilkada Serentak 2020 merupakan pesta demokrasi yang tidak normal karena digelar di tengah pandemi COVID-19. Oleh karenanya, seluruh tahapannya, termasuk kampanye tidak dapat dilakukan seperti pada pilkada normal sebelumnya.
Selain itu, dibutuhkan aturan tegas, agar protokol kesehatan benar-benar diterapkan dan ditaati dalam setiap tahapan pilkada. Sebab, persoalan yang dihadapi saat ini adalah rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan.
"Persoalan yang dihadapi saat ini kan masalah kedisiplinan. Karenanya, perlu aturan dan sanksi harus lebih tegas lagi," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajria Anindya Utami