Kim Jong-un Tunjukkan Tanda-tanda Dukung Trump dalam Pilpres AS
Analisis baru dari lembaga think tank yang berbasis di Amerika Serikat (AS) menyatakan rezim Korea Utara (Korut) yang dipimpin Kim Jong-un kemungkinan akan menunda tes senjata nuklir menjelang pemilihan presiden (Pilpres) Amerika.
Menurut lembaga itu, hal tersebut merupakan indikasi bahwa pemimpin muda Pyongyang itu memfavoritkan Donald Trump kembali menjadi presiden Amerika.
Baca Juga: Stres Berat, Manajer Tim Kampanye Trump Pilih Resign
Sue Mi Terry, seorang fellow senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) dan mantan analis senior pada Korea Utara untuk CIA, berpartisipasi dalam forum virtual CSIS yang membahas Korea Utara pada 24 September lalu.
Dia menyatakan keraguan tentang kemungkinan "kejutan Oktober" dari Pyongyang karena ini adalah tahun pemilu yang tidak biasa di mana Kim Jong-un ingin melihat Trump terpilih.
"Jadi saya pikir provokasi akan datang, mungkin, selama masa transisi," katanya, menyoroti periode dari 3 November hingga 10 Januari sebagai kerangka waktu yang mungkin untuk dimulainya kembali tes sistem senjata canggih Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK).
Terry mencatat bahwa provokasi bisa datang setelah 10 Januari jika calon presiden (capres) dari Partai Demokrat yang juag mantan Wakil Presiden Joe Biden memenangkan pilpes AS 3 November 2020.
Masyarakat internasional baru-baru ini mengintip hubungan Trump dan Kim Jong-un melalui buku "Rage" kaya editor Washington Post; Bob Woodward.
"Saya tidak bisa melupakan momen sejarah itu ketika saya dengan kuat memegang tangan Yang Mulia," kata pemimpin Korea Utara itu dalam sebuah surat kepada Trump pada 25 Desember 2018 yang dikutip dalam buku "Rage". Kedua pemimpin itu berjabat tangan untuk pertama kalinya di resor Capella di Pulau Sentosa, Singapura, pada 12 Juni 2018.
"Hanya dua pemimpin yang bisa melakukannya, adalah Anda dan saya," kata Trump menanggapi Kim.
Mengutip ingatan presiden AS tentang peristiwa menjelang pertemuan puncak antara Trump dan Kim di Singapura pada Juni 2018, Woodward menulis bahwa untuk tahun pertama kepresidenan Trump, saat itu Menteri Pertahanan James Mattis telah hidup dalam siaga permanen atas tes rudal balistik berulang kali oleh Pyongyang, termasuk penembakan rudal balistik antarbenua Hwasong-15.
Trump, yang mengambil sikap keras terhadap Korea Utara pada tahun 2017, mengakui kepada Woodward dalam rekaman wawancara bahwa Pyongyang dan Washington hampir terlibat dalam perang.
Terlepas dari sifat historis pertemuan punvak (KTT) Singapura, negosiasi AS-Korea Utara mengenai denuklirisasi telah gagal, tanpa komitmen tegas dari Kim Jong-un.
“Ada keinginan untuk terlibat di tingkat tinggi, tapi kemudian hancur dari sana,” kata John Delury, seorang profesor di Universitas Yonsei di Seoul, Korea Selatan, kepada Washington Post, yang dikutip Jumat (2/10/2020).
“Teater politik Trump yang kacau dan tidak fokus berarti bahwa itu tidak benar-benar menciptakan proses yang langgeng.”
Pyongyang juga menolak mengizinkan Washington untuk memeriksa bungker senjatanya.
"Korea Utara tidak berhenti membuat senjata nuklir atau mengembangkan sistem rudal; mereka hanya berhenti menampilkannya," kata Jeffrey Lewis, direktur Program Nonproliferasi Asia Timur di Pusat Studi Nonproliferasi (CNS), kepada Washington Post. "Mereka (rezim Kim Jong-un) berhenti melakukan hal-hal yang membuat lingkaran berita buruk bagi Trump."
Versi rahasia dari laporan sementara komite sanksi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) Korea Utara menyatakan pada awal Agustus bahwa Pyongyang diduga kuat telah mengembangkan perangkat nuklir miniatur agar sesuai dengan hulu ledak rudal balistiknya.
"Republik Demokratik Rakyat Korea melanjutkan program nuklirnya, termasuk produksi uranium yang sangat diperkaya dan pembangunan reaktor air ringan eksperimental," kata laporan tersebut.
Panel tersebut mengeluarkan laporan paruh waktu penuh pada hari Senin lalu, yang menuduh Pyongyang melebihi batas impor tahunan 500.000 barel untuk produk minyak sulingan dalam lima bulan pertama tahun 2020.
Panel DK PBB yang beranggotakan 15 orang itu mengklaim bahwa citra satelit menunjukkan bahwa Pyongyang menghentikan sementara ekspor batu bara pada akhir Januari dan melanjutkan pengiriman pada akhir Maret.
Para ahli merinci "transfer antar-kapal" dilakukan oleh kapal-kapal Korea Utara yang beroperasi di perairan negara anggota DK PBB lainnya.
China dan Rusia mempertanyakan dasar pernyataan panel dalam laporan sementara. Moskow berpendapat bahwa penerbitan laporan itu tidak memberikan informasi yang objektif, akurat dan dapat diverifikasi atau memiliki bukti citra yang cukup kuat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: