Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

MK Bukan Malaikat, Rizal Ramli hingga Gatot Terancam Tak Bisa Nyapres

MK Bukan Malaikat, Rizal Ramli hingga Gatot Terancam Tak Bisa Nyapres Kredit Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Warta Ekonomi, Jakarta -

Mahkamah Konstitusi (MK) diprediksi tidak akan mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dalam hal ini terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Prediksi tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin.

Ujang membeberkan sejumlah alasan. Menurutnya, hakim MK ada yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). "Akan ada lobi DPR dan partai ke MK. Kalau sudah begitu keputusannya akan condong ke bukan nol persen," ujarnya, Selasa (6/10/2020).

Selain itu, kata Ujang, hakim MK itu bukan malaikat. "Memutus juga bisa salah. Dan bisa tak berpihak ke tokoh-tokoh yang berjuang untuk nol persen. Tentu nanti dengan argumen-argumen pembenaran yang dimiliki," katanya.

Baca Juga: Presidential Threshold Dihapus, Peluang Gatot & Moeldoko Nyapres Terbuka Lebar

Diketahui, Senin (5/10/2020), MK kembali mengelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sidang digelar secara virtual di Ruang Sidang Pleno MK.

Dikutip dari laman mkri.id, dalam persidangan dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Salman Darwis selaku kuasa hukum mengatakan bahwa Para Pemohon telah memperbaiki permohonannya sesuai dengan nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Adapun permohonan yang diperbaiki yakni pada bagian kedudukan hukum, pokok permohonan, dan petitum.

Diketahui, Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno tercatat sebagai Pemohon dalam perkara yang teregistrasi dengan Nomor 74/PUU-XVIII/2020. Para Pemohon mendalilkan Pasal 222 yang menyebut, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya" melanggar hak konstitusional keduanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: