Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kejayaan Masa Lalu Palestina Lenyap Akibat Ulah Negara-negara Teluk

Kejayaan Masa Lalu Palestina Lenyap Akibat Ulah Negara-negara Teluk Kredit Foto: Reuters/Ibraheem Abu Mustafa
Warta Ekonomi, Ramallah, Tepi Barat -

Dimitri Diliani, anggota Pengawal Revolusi Fatah mengatakan, warga Palestina dulu bangga dengan pencapaian diplomasi mereka. Tapi, kejayaan masa lalu itu telah hilang, karena negara-negara Teluk lebih suka menandatangani kesepakatan dengan Israel.

Diliani mengatakan, masyarakat Palestina sangat marah dengan keputusan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Tapi, ucap Diliani, yang lebih miris adalah Otoritas Palestina (PA) tidak berbuat apapun untuk mencegah hal ini.

Baca Juga: Akal Bulus Israel untuk Tutupi Kejahatannya di Palestina

"Rakyat Palestina marah dan tidak menyetujui perjanjian normalisasi. Tetapi yang aneh adalah bahwa PA tidak melakukan apa pun untuk mencegah kesepakatan ini terjadi. Mereka bahkan belum berbicara dengan Abu Dhabi sejak 2014," ucap Diliani, seperti dilansir Sputnik.

"Dulu kami bangga dengan mesin diplomatik kami. Sekarang, tidak ada yang tersisa dari kejayaannya di masa lalu. Pencapaian terakhir diplomasi Palestina terjadi pada 2012, ketika PA diterima di PBB sebagai negara pengamat non-anggota," sambungnya.

Beberapa keuntungan juga telah diperoleh oleh kelompok-kelompok pro-Palestina yang mendorong Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan atas dugaan kejahatan perang Israel di Tepi Barat dan Gaza. Kelompok pro Palestina juga memberi tekanan pada beberapa negara Eropa untuk memberi label produk-produk Israel.

Namun, ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan pencapaian advokasi Israel. Meskipun negara Yahudi itu belum menginvestasikan banyak dana ke Kementerian Luar Negerinya, mengalihkan sebagian besar sumber daya negara ke aparat keamanan, negara itu berhasil mendapatkan dukungan dari beberapa pemain internasional.

Ini sebagian karena hubungan pribadi antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan sebagian karena upaya diplomatik negara itu.

Sejak 2017 dan hingga saat ini, Israel telah berhasil menghasilkan sejumlah keuntungan yang mengesankan. Tak lama setelah Trump menjabat, dia mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota negara Yahudi, memindahkan kedutaan AS ke sana beberapa bulan kemudian dan mendorong negara lain untuk mengikutinya.

Kemudian, pada 2019, pemerintahan Trump mengakui legalitas permukiman Yahudi di Tepi Barat yang disengketakan, bekerja untuk mempromosikan penyelesaian konflik Israel-Palestina dan mencoba menjembatani kesenjangan antara Israel dan negara-negara Teluk.

Diliani tidak meyakini bahwa kesepakatan normalisasi akan menghilangkan rencana aneksasi Israel. Dia juga tidak percaya bahwa pakta tersebut akan membawa manfaat ekonomi bagi Palestina, hanya karena keras kepala dan kebanggaan Ramallah.

"Kepemimpinan Palestina baik-baik saja, dengan menerima uang dari Israel dan Qatar. Tetapi, tidak akan mengambil sepeserpun dari UEA. Tetapi, keretakan dengan negara Teluk tidak ada hubungannya dengan kepentingan nasional, itu hanya dimotivasi oleh ketakutan Presiden Mahmoud Abbas terhadap Mohammed Dahlan," jelas Diliani.

Dahlan, yang pernah menjadi Kepala Keamanan Preventif Fatah di Gaza, harus melarikan diri dari wilayah itu setelah kudeta tahun 2007 yang menempatkan Hamas berkuasa.

Meskipun Dahlan telah tinggal lama di UEA, Abbas, yang popularitasnya telah tenggelam selama beberapa tahun terakhir, selalu melihatnya sebagai saingan potensial.

Dan sementara Abbas prihatin dengan balas dendam pribadinya, Diliani memperingatkan bahwa Otoritas Palestina mungkin gagal memperhatikan kesepakatan potensial lain yang sedang dikerjakan Israel tepat di depan hidung mereka.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: