Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Dengar Nih, Dubes Prancis di Indonesia Bilang Macron Gak Punya Niat Musuhi Islam

Dengar Nih, Dubes Prancis di Indonesia Bilang Macron Gak Punya Niat Musuhi Islam Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Duta Besar (Dubes) Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard mencoba meredam protes keras umat Muslim di Tanah Air terhadap pernyataan Presidennya, Emmanuel Macron yang dianggap menyudutkan Islam. Antara lain, dibeberkannya, asas Laicite, landasan negaranya untuk memperlakukan sama semua agama.

Soal perlakuan sama diberikan pemerintah Prancis kepala tabloid Charlie Hebdo saat mengkritik agama lain. Chambard menggelar pertemuan dengan sejumlah media di Kedubes Prancis di Jakarta, Senin (9/11/2020).

Baca Juga: Tegas! Janji Prancis yang Tak Akan Berhenti Perangi Islam Radikal

Chambard menyampaikan, pemboikotan terhadap produk Prancis memang berdampak buruk bagi negaranya. Tapi, hal itu juga merugikan perekonomian Indonesia. Kata dia, ada sekitar 50 ribu orang yang bekerja di perusahaan Prancis di Indonesia.

“Dan sudah pasti akan ada banyak orang yang terdampak jika aksi boikot terus dilakukan,” terangnya.

Tak hanya itu. Aksi boikot juga memberikan citra yang buruk bagi Indonesia dalam menarik investor. “Salah satu tugas saya adalah mengajak perusahaan Prancis berinvestasi di negara ini, berinvestasi jangka panjang,” tuturnya.

Dia mencatat, ada lebih dari 200 perusahaan Prancis yang beroperasi di Indonesia. Sebanyak 200 perusahaan itu terdiri dari berbagai ukuran. Dari yang skala kecil hingga raksasa. “Jika Anda bicara Danone, itu adalah perusahaan besar di Prancis, di dunia dengan 30 pabrik di Indonesia,” tuturnya.

Pada pertemuan ini, Chambard meluruskan sikap Presiden Macron yang dianggap menentang Islam. Menurut Dubes yang juga pernah ngepos di Jakarta pada 1997, negaranya tidak menentang Islam.

Sebagai penganut sekularisme, Prancis sangat melindungi semua agama. Terkait kontroversi penerbitan karikatur Nabi Muhammad SAW oleh tabloid Charlie Hebdo, Chambard menilai, terjadi kesalahpahaman.

Umat Muslim berpikir bahwa Prancis melawan Islam karena menganggap mendukung karikatur tersebut. “Jelas, ini bukanlah yang sebenarnya terjadi. Di Prancis ada enam juta warga Muslim yang hidup dengan damai. Tanpa masalah,” kata Chambard.

Dia mengatakan, di Prancis, kritisisme atau membuat lelucon tentang agama tidak dapat dikategorikan kasus penistaan agama. Tidak bisa dianggap sebagai tindak pidana. Apakah ini mengkritik Paus, Nabi Muhammad, atau rabi Yahudi. Bahkan agama mana pun. Dan, Tabloid Charlie Hebdo juga melakukan hal yang sama pada agama lain.

“Mereka melakukan hal yang sama pada agama lain. Termasuk pada pemerintah, bahkan pada orang-orang kaya,” terangnya.

Dia bilang, penuntutan bisa dilakukan jika terdapat pihak atau individu yang menyerukan untuk membunuh dan membenci. Chambard mengerti jika ada pihak yang terluka akibat pener- bitan karikatur Nabi Muhammad. Tapi hukum di Prancis tidak dapat menuntutnya. “Otoritas Prancis tidak pernah mendukung atau mengutuk hal itu,” tegasnya.

Chambard juga menerangkan tentang isu yang menyebut sekularisme Prancis menentang Islam. Dia menegaskan bahwa sekularisme Prancis bermula ketika tidak ada Islam di negaranya. Jadi, pandangan sekularisme Prancis menentang Islam adalah hal yang tidak masuk akal.

“Sekularisme telah terbentuk sejak Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18,” imbuhnya.

Awalnya, lanjutnya, Prancis adalah negara penganut Katholisisme. Namun hal tersebut mempersulit agama lainnya. Jadi, dengan menganut sekularisme maka tiap orang bebas untuk memeluk agama apa saja. “Apakah itu Khatolik, Protestan, Islam, Hindu, Yahudi,” kata Chambard.

Dia mengeaskan,sebagai negara sekuler, Prancis tidak melarang praktik keagamaan tertentu. Misalnya, wanita Muslim diizinkan menggunakan hijab atau kerudung. Namun dalam hal pelayanan publik, simbol-simbol agama tidak diperkenankan.

Aparatur sipil tidak diperkenankan mengenakan simbol agama atau keyakinan tertentu. Jika wanita Muslim, maka tidak boleh menggunakan kerudung. Jika Yahudi tidak boleh menggunakan kipah.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: