Literasi Digital Generasi Milenial
Oleh: Tri Utami, Pustakawan Perpustakaan Nasional RI
Era revolusi industri 4.0 kini telah menambah daftar kebutuhan primer manusia. Dahulu, kebutuhan primer adalah sandang, pangan, dan papan, tetapi saat ini, kebutuhan primer itu bertambah satu: kebutuhan akan internet.
Sudah bisa dipastikan, di era ini kita tidak bisa ketinggalan apalagi berlepas diri dari kebutuhan akan akses internet baik untuk memenuhi kebutuhan informasi, kebutuhan untuk aktualisasi dan eksistensi diri, kebutuhan transportasi, kebutuhan transaksi jual-beli, kebutuhan komunikasi dan bersosialisasi, dan masih banyak kebutuhan lain yang memerlukan akses internet dalam pemenuhannya.
Baca Juga: Webinar Perpusnas: Literasi Pintu Masuk Bentuk SDM Berkualitas
Dengan kemudahan akses internet yang bisa ditemukan di mana pun, kapan pun, dan dilakukan oleh siapa pun, tentu membuat informasi yang beredar makin banyak dan beragam. Informasi yang dihasilkan pun mencakup beberapa macam, ada informasi yang kontennya bisa dipercaya dan aktual. Ada pula berita bohong atau hoax. Di sinilah peran penting dari literasi digital.
Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997) menyatakan bahwa literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.
Pengertian lain dari literasi digital disampaikan oleh Iin Hermiyanto yang mendefinisikan literasi digital adalah ketertarikan, sikap, dan kemampuan individu menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat.
Literasi digital intinya adalah kemampuan untuk bisa mencari, menemukan, menggunakan, dan menyebarluaskan kembali informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan menggunakan media digital. Literasi digital merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai oleh pengguna internet, khususnya generasi milenial.
Hal ini bukan hanya sebatas proses generasi milenial berinteraksi dengan media digital, tetapi lebih kepada manfaat interaksi tersebut terhadap kehidupan generasi milenial. Tidak dapat dimungkiri, generasi milenial saat ini setiap harinya pasti mengakses internet. Tidak hanya milenial urban, tetapi juga milenial rural di rumah, di sekolah, dan di tempat kerja pun, mereka akan selalu terpaut dengan internet.
Menghindarinya adalah hal yang mustahil, tetapi mengajari dan mendampingi milenial saat berselancar di dunia maya dengan lebih baik dan bermanfaat adalah hal yang sangat memungkinkan bagi orang tua maupun pendidik.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan, sebanyak 143,26 juta dari total 262 juta orang Indonesia sudah bisa mengakses internet. Dari 143,26 juta orang pengguna internet tersebut, ternyata 49,52% di antaranya adalah anak muda. Rincian usianya yaitu 13-18 tahun di angka 16,68%, usia 19-34 tahun 49,52%, usia 35- 54 tahun 29,55%, dan di atas 54 tahun sebanyak 4,24%.
Angka-angka tersebut merupakan hasil survei yang dilakukan APJII sepanjang tahun 2017. Itu artinya, generasi milenial merupakan pengguna internet terbanyak di Indonesia.
Sosial media adalah salah satu menu utama yang digunakan generasi milenial. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan komunikasi dan sosialisasi, melainkan juga demi eksistensi diri. Bersosial media kini menjadi bagian dari hidup milenial.
Upload video atau foto, update status di media sosial yang dimiliki adalah bagian dari data. Setiap harinya ada lebih 400 juta tweet yang dikirim ke Twitter dan 72 jam video Youtube di-upload tiap menitnya.
Zaman membludaknya informasi digital saat ini menjadi salah satu cara oknum tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan hoax atau melakukan cyber crime. Hoax bukan hanya sebuah lelucon untuk menghibur orang, melainkan menjadi sarana mengadu domba antar-ras dan golongan, penyebaran ujaran kebencian antar-umat beragama, bahkan sengaja dibuat untuk menjatuhkan image seseorang demi kepentingan politik.
Berangkat dari hal inilah, generasi milenial perlu dibekali dengan kemampuan literasi digital. Douglas A. J. Belshaw dalam tesisnya What is "Digital Literacy"? (2011) mengatakan bahwa ada delapan elemen esensial untuk mengembangkan literasi digital: 1. Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna digital; 2. Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten; 3. Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual.
Selanjutnya, 4. Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital; 5. Kepercayaan diri yang bertanggung jawab 6. Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru; 7. Krisis dalam menyikapi konten; dan 8. Bertanggung jawab secara sosial. Lalu, bagaimana Perpusnas mendukung gerakan literasi digital ini?
Baru-baru ini, Perpustakaan nasional RI (Perpusnas) dan Duta Baca Indonesia bersinergi mendukung Nusa Tenggara Barat untuk meningkatkan Literasi Digital. Ini merupakan sikap dalam penggunaan teknologi digital dan alat komunikasi.
Literasi digital juga dapat memberikan wawasan kepada masyarakat dalam mengakses, membuat, dan mengelola informasi, dan memanfaatkan secara bijak dan cerdas. Jadi, sebagai golongan pengguna internet terbesar di Indonesia, generasi milenial perlu didampingi dan dibekali kemampuan literasi digital.
Hal ini bertujuan untuk menjadikan generasi milenial lebih produktif dalam berinternet sehingga berinternet sehat dan aman bisa membudaya di masyarakat Indonesia. Selain itu, literasi digital juga bisa menjadi bekal untuk menjaga generasi milenial dari serangan hoax atau korban cyber crime oknum yang tidak bertanggung jawab yang bisa merugikan dirinya sendiri, keluarga, bahkan masyarakat luas.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum