Sanksi pemberhentian kepala daerah memang dimungkinkan UU tetapi dalam praktiknya tidaklah mudah. Sedikit case, misalnya pemberhentian Bupati Garut (2013), karena tersandung kasus pidana, gubernur Aceh di nonaktifkan karena tersandung korupsi, konflik antara DPRD dengan Bupati Jember yang berujung pemakzulan dan berisiko pemberhentian jabatan.
Mengusir kepala daerah dari kursinya memang tidak gampang. Pertama, karena pimpinan kepala daerah saat ini dipilih langsung oleh rakyat, juga merupakan kader partai pengusung. Dalam hal ini dibutuhkan kehati-hatian dan obyektifitas yang memadai agar terhindar dari jebakan kepentingan kekuasaan atau framing bernuansa politik meski samar sekalipun, apalagi menjelang pilkada. Kedua, dalam pemberhentian kepala daerah pada dasarnya harus melalui tahapan atau mekanisme yang tidak sederhana dan juga diatur undang-undang.
Pertanggungjawaban kepala daerah pada prinsipnya adalah unsur utama dalam mekanisme pemberhentian kepala daerah hal ini menunjukkan adanya sifat parlementer dalam mekanisme pertanggungjawabannya, dalam arti pertanggungjawaban ‘trias politika’. Pemberhentian kepala daerah logikanya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan, hingga Mahkamah Agung dan Presiden, meskipun ada pula yang tidak melibatkan DPRD ketika tidak melaksanakan kewenangannya. Ketiga, Kepala daerah dalam menjalankan pekerjaan secara eksisting tidak berdiri sendiri.
Dalam memenuhi regulasi PSBB mungkin sosialisasi dan penegakan protokol kesehatan sudah dilaksanakan. Namun dalam situasi tertentu agar powerful dibutuhkan support dari pihak lain yang memiliki kewenangan dan kapasitas lebih. Misalnya, dalam kasus berkumpulnya ribuan masa, mungkin tidak semua kepala daerah mampu mengatasinya karena keterbatasan perangkat personil Satpol PP yang hanya ratusan orang. Sehingga dibutuhkan dukungan pihak lain seperti Polri, TNI, termasuk tokoh masyarakat dan agama dalam mencegah kerumunan masa. Bisa dikatakan dalam konteks ini yang terjadi sebenarnya bukan pelanggaran atau kelalaian dalam menegakkan protocol kesehatan tetapi lebih pada persoalan kapasitas dan mungkin juga lemahnya koordinasi antar pihak.
Situasi yang dilematis dalam memberhentikan jabatan kepala daerah memang bisa menimbulkan keraguan jika acaman Mendagri hanya sebatas macan kertas. Apakah 82 kepala daerah yang sepenuhnya akan patuh?
Dalam situasi darurat covid ini selain melalui pendekatan UU Pemerintah pusat dapat melakukan pendekatan lain semacam open legal policy yang sama-sama bisa mendisiplinkan kepala daerah. Kebijakan tersebut dapat berupa Pakta integritas yang merupakan perjanjian yang dibuat bersama-sama oleh pejabat di lingkungan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah yang berfungsi untuk menegaskan komitmen dalam menjalankan kewenangan dan kesanggupan untuk tidak melakukan pelanggaran regulasi Covid-19. Pemerintah juga dapat memberikan sanksi administrative lain bagi daerah yang tidak disiplin dalam mematuhi protocol Kesehatan.
Misalnya, sejalan dengan otonomi daerah, maka pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah bisa dievaluasi, seperti terkait komponen dana perimbangan dalam kebijakan atau struktur APBD 1 atau penangguhan fasilitas jabatan. Sanksi lain yang lebih sosial adalah menerbitkan index Kepatuhan Protocol Kesehatan bagi daerah yang berkonsekuensi reward sekaligus punishment. Pemerintah daerah juga perlu diinstruksikan dan diwajibkan secara proaktif melakukan pencegahan dengan memberikan perhatian khusus pada klaster-klaster pencetus kerumunan masa, seperti kegiatan hiburan, pesta/hajatan, institusi/kegiatan keagamaan, unjuk rasa, lembaga pendidikan, transportasi umum dll.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil