Konsumsi swasta, yang menjadi motor utama ekonomi Indonesia, mengalami tekanan paling dalam selama tahun 2020 akibat kasus pandemi yang terus meningkat. Pada kuartal kedua dan ketiga, konsumsi swasta mengalami kontraksi masing-masing sebesar 5,5% dan 4%.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan bahwa penurunan terdalam terjadi pada konsumsi yang berkaitan dengan leisure, yaitu sektor transportasi dan pergudangan dan sektor penyediaan akomodasi dan makan minum.
Baca Juga: 2021 Ekonomi Indonesia Dapat Tumbuh 6%, Ini Skenarionya
Secara kumulatif tiga kuartal pertama, kedua sektor tersebut terkontraksi masing-masing sebesar 15,6% dan 10,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Kebijakan pemerintah yang melakukan pembatasan sosial dan perilaku masyarakat, khususnya kelas menengah atas, yang mengurangi kegiatan ekonomi untuk mencegah penularan Covid-19, menjadi penyebab utama penurunan konsumsi seluruh golongan pendapatan," kata Faisal, Jakarta, Sabtu (21/11/2020).
Golongan pendapatan menengah atas, yang berkontribusi 82 persen terhadap total konsumsi masyarakat, cenderung menahan belanja mereka. Salah satu indikasi perilaku delayed purchase golongan menengah terlihat dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga di perbankan yang mengalami peningkatan.
Sementara itu, golongan pendapatan bawah mengalami penurunan daya beli sejalan dengan turun atau bahkan hilangnya pendapatan mereka selama masa pandemi.
Sepanjang Februari-Agustus 2020, sebanyak 2,56 juta penduduk kehilangan pekerjaan karena Covid-19. Namun, tekanan terhadap konsumsi golongan pendapatan bawah sedikit tertolong oleh Bantuan Sosial pemerintah melalui PEN, baik dalam bentuk transfer barang, uang, dan pemberian subsidi.
Oleh karena itu, pemulihan ekonomi pada 2021 akan ditentukan oleh pemulihan kepercayaan konsumen menengah atas. Tingkat kepercayaan tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, terutama penurunan penularan dan fatality rate pandemi Covid-19, tingkat adaptasi masyarakat terhadap pandemi, serta proses vaksinasi.
Adapun pada tahun 2021, investasi diperkirakan akan kembali tumbuh positif di kisaran 3-4%. "Investor di sektor swasta masih menyesuaikan dengan permintaan domestik yang diperkirakan belum sepenuhnya pulih akibat pandemi, meskipun proses vaksinasi diperkirakan telah berlangsung di Indonesia," terang dia.
Kalaupun terjadi peningkatan permintaan, baik domestik maupun ekspor, kapasitas terpasang saat ini masih cukup untuk memenuhi kenaikan permintaan tersebut. Sementara itu, realisasi belanja modal pemerintah diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi, sejalan dengan peningkatan alokasi belanja modal pada APBN 2021 yang ditetapkan Rp250 triliun, naik 82 persen dari alokasi tahun 2020 yang mencapai dari Rp137 triliun.
Menurut Faisal, peningkatan ini didorong oleh rencana pemerintah untuk mendorong investasi pemerintah khususnya untuk proyek-proyek yang tertunda pada tahun ini.
Sementara itu, BUMN diperkirakan belum akan melakukan ekspansi secara agresif pada tahun mendatang akibat kondisi ekonomi belum sepenuhnya pulih dan sebagian BUMN, khususnya BUMN Karya, memiliki liabilitas yang meningkat cukup tinggi sehingga alokasi belanja modal mereka masih akan cenderung konservatif.
Namun, sambung dia, di tengah tren perlambatan investasi nasional selama pandemi, beberapa industri manufaktur di Indonesia justru mengalami peningkatan, khususnya industri logam dasar, kimia dasar, dan farmasi.
Peningkatan investasi tersebut, antara lain, disebabkan oleh rangsangan kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi sektor pertambangan, termasuk pembangunan smelter. Selain itu, kebutuhan pengobatan dan pelayanan kesehatan yang meningkat akan mendorong peningkatan investasi pada industri kimia dan farmasi.
"Pertumbuhan sektor-sektor tersebut diperkirakan masih akan terus berlanjut pada tahun 2021," imbuh dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: