Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan, lahirnya konflik sosial (konflik horisontal) di masyarakat lebih sering terjadi karena dipicu kesalahpahaman. Misalnya pada Januari 2018, sekelompok orang dari suatu ormas keagamaan melakukan penyerangan dan pembakaran markas ormas lain di Bogor karena dipicu oleh kabar bohong (hoaks) di media sosial tentang penusukan salah satu anggota ormas keagamaan tersebut.
Dia mencontohkan, pada September 2019, munculnya hoaks tentang isu seorang guru mengeluarkan kata rasis di Wamena, telah memprovokasi para pelajar dan masyarakat melakukan unjuk rasa dan pembakaran beberapa kantor pemerintah, ruko-ruko milik masyarakat dan beberapa kendaraan bermotor.
"Contoh lain yang sering kita dengar atau saksikan, adalah pada saat penyelenggaraan Pemilu atau Pilkada di mana kontestasi politik telah bergeser menjadi konflik antar pendukung calon," ujar Bamsoet dalam Rakornas Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), secara virtual dari Ruang Kerja Ketua MPR RI, Jakarta, Selasa (24/11/20).
Baca Juga: 24 Pengprov IMI Dukung Bamsoet Maju Calon Ketum IMI 2021-2024
Calon Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini menjelaskan, dalam kasus Pilkada misalnya, kabar hoaks cenderung dibuat untuk mendelegitimasikan lawan politik, yang secara alamiah akan memicu lahirnya berita-berita hoaks tandingan dari lawan politik.
Ketika titik kulminasi telah mencapai klimaksnya, masyarakat khususnya pendukung masing-masing kubu yang telah terpolarisasi pada dua kutub berseberangan akan sangat mudah terjebak pada pecahnya konflik sosial.
"Di era kemajuan teknologi informasi yang berkembang dengan sedemikian pesat, arus informasi begitu deras menjejali ruang publik melalui berbagai platform digital. Dalam konteks ini, masyarakat perlu memahami mengenai berbagai jenis informasi yang tidak benar, agar lebih bijaksana dalam menyikapi," jelas Bamsoet.
Ketua DPR RI ke-20 ini menerangkan, berbagai jenis informasi yang tidak benar tersebut dapat berupa misinformasi (penyebaran informasi yang tidak tepat, karena ketidaktahuan), disinformasi (penyebaran informasi yang tidak tepat dan bersifat destruktif secara sengaja), serta malinformasi (penyebaran informasi faktual, tetapi untuk tujuan tidak baik, misalnya untuk menghasut atau memprovokasi).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: