Persebaran hoaks mengenai vaksin dan Covid-19 bisa menghambat proses vaksinasi. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk memerangi hoaks agar Indonesia segera keluar dari pandemi.
Di Indonesia, gerakan antivaksin menguat berdasarkan aliran kepercayaan. Penolakan terhadap vaksin di Tanah Air ini bahkan pernah dipublikasikan dalam jurnal bergengsi The Lancet dan Elsevier.
Baca Juga: Menanti Vaksinasi, Fahira Idris: Makin Disiplin 3M!
"Masyarakat menengah ke bawah mudah memercayai [hoaks], apalagi kalau berita disampaikan oleh tokoh pemuka," kata Sekretaris Eksekutif Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), dr. Julitasari Sundoro, dalam talkshow bertajuk "Tolak dan Tangkal Hoax" yang digelar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN), Senin (7/12/2020).
Sejumlah mitos bertebaran, misalnya vaksin berbahaya. Ada juga klaim dokter ahli gizi menyatakan jika kuman disuntikkan kepada anak dengan daya tahan tubuh menurun, kuman akan menjadi aktif bahkan menginfeksi tubuh resipien. "Ini adalah hal-hal yang keliru, misleading. Sebenarnya, vaksin yang akan kita pakai itu sudah inactive," kata dia.
Klaim lain juga menyebutkan bahwa menangani Covid-19 tidak perlu vaksin lantaran hanya menghambur-hamburkan anggaran. Uang lebih baik dipakai untuk pengadaan tes PCR. Faktanya, PCR dibutuhkan untuk skrining penemuan kasus baru. Sedangkan, vaksin dipakai untuk pencegahan.
Hoaks lain seputar vaksin Covid-19 yakni tudingan bahwa uji klinis yang digelar di Bandung bersifat ecek-ecek lantaran jumlahnya terlalu sedikit hanya 1.620 orang. Faktanya, uji klinis vaksin dilakukan secara multisenter di beberapa negara lain dengan jumlah total 30.490 orang.
Julitasari mengatakan, ada pula argumen yang dituduhkan gerakan antivaksin terbukti palsu. Misalnya soal tudingan vaksin MMR menyebabkan autisme. Faktanya, data yang dipublikasikan di majalah Lancet tidak benar. Majalah itu lantas menarik artikelnya pada 6 Februari 2010. Selain itu, banyak riset membuktikan tuduhan vaksin MMR menyebabkan autisme tidak terbukti.
"Sebuah berita televisi 3 Desember 2020 menyebutkan ada pasien mengeluhkan pascaimunisasi di Tulangbawang. Padahal, vaksin baru tiba tadi malam," ujar dia.
Mitos lain seputar vaksin Covid-19 misalnya sistem imun bayi tidak bisa mengatasi berbagai vaksin. Faktanya, justru makin kecil anak makin baik diberikan imunisasi. Vaksin hepatitis B misalnya diberikan saat masih bayi. Begitu pula vaksin Polio diberikan saat bayi masih di rumah sakit. Vaksin akan memberikan respons imun terhadap antigen yang masuk.
Ia meminta masyarakat tidak mudah terpancing isu hoaks seputar vaksin. Julitasari mengajak masyarakat mendapatkan informasi yang tepat melalui sumber terpercaya dan kredibel.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, mengatakan bahwa selama pandemi, Manfindo mencatat jumlah hoaks Covid-19 sangat masif. Data Mafindo menunjukkan pada 2018, ditemukan 997 hoaks. Jumlah ini meningkat pada 2019 menjadi 1.221 hoaks seiring digelarnya Pemilu.
Namun, pada 2020, hingga 16 November, Mafindo mencatat ada 2.024 hoaks beredar di masyarakat. Bahkan, pada Januari-November ditemukan ada 712 hoaks seputar Covid-19. Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai ranking kelima dunia persebaran rumor, stigma, dan teori konspirasi seputar Covid-19.
Hal itu berdampak serius pada terjadinya konflik sosial di masyarakat, ketidakpercayaan, dan intimidasi terhadap rumah sakit dan tenaga kesehatan, abai protokol kesehatan, dan lainnya. Ancaman hoaks Covid-19 karena ini suatu hal lebih spesifik lagi. "Kita menduga tingkat penerimaan hoaks vaksin akan dipengaruhi bagaimana mereka menerima hoaks tentang Covid-19," kata Septiaji.
Rumor ini disebarkan oleh orang-orang yang kadang berprofesi sebagai dokter atau menjabat sebagai profesor. Kondisi ini terlihat di media sosial yang melahirkan kelompok-kelompok baru yang gemar menyebarkan hoaks Covid-19. Mereka yang sudah percaya hoaks Covid-19 sangat mungkin percaya hoaks vaksin Covid-19. Risikonya adalah mereka yang termakan hoaks vaksin Covid-19 bisa jadi enggan atau menolak program vaksinasi.
Hoaks perihal vaksin Covid-19 itu misalnya hoaks adanya warga Korea Selatan yang meninggal dunia seusai vaksinasi atau vaksin Covid-19 menyebabkan kemandulan. Ada juga tudingan menyebutkan MUI melarang penggunaan vaksin yang didatangkan dari Tiongkok. Padahal, MUI tidak pernah menyampaikan pernyataan itu.
Mafindo mengidentifikasi, ada dua kelompok yang cenderung percaya hoaks vaksin Covid-19. Kelompok pertama, kelompok yang secara tradisional antivaksin karena alasan keyakinan atau antisains modern. Kelompok berikutnya adalah kelompok bukan antivaksin, tetapi masuk ke dalam kelompok yang terpapar dan lebih percaya hoaks Covid-19. Kelompok terakhir inilah yang berpotensi menolak vaksin lantaran terlanjur termakan hoaks.
"Kami khawatir kelompok ini yang besar. Kelompok ini yang perlu kita perjuangkan bisa kita yakinkan bahwa isu-isu itu adalah hoaks dan percayalah pada pendapat pakar yang kemudian diadopsi pemerintah," kata Septiaji.
Dalam setiap narasi hoaks, ada beberapa trigger words yang kerap disampaikan, yakni tidak halal, berbahaya bagi kesehatan, rekayasa elite global, settingan Tiongkok, dan narasi politis. Poin-poin ini perlu disikapi secara serius oleh pemerintah.
"Kami punya pengalaman saat melawan hoaks covid, beberapa trigger words ini muncul. Cuma kadang-kadang kami melihat responsnya belum cukup. Jadi, masyarakat lebih percaya hoaks ketimbang klarifikasi yang diedarkan [pemerintah]," ujar dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum