Plt Sekjen DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dea Tunggaesti, menuding rencana revisi UU No 7/2017 tentang Pemilu lantaran ada kepentingan jangka pendek sejumlah partai politik, bukan dasar objektivitas.
Sebab, ada beberapa usul perubahan yang dimajukan. Di antaranya, sistem pemilu (terbuka, tertutup, campuran), ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT), presidential threshold, dan metode penghitungan suara.
Baca Juga: Sindiran Nyelekit Eks Orang PSI untuk Habib Rizieq CS: Bangun, Terus Klaim Zionisme!
Dari poin-poin yang diusulkan untuk direvisi, lanjut Dea, banyak yang baru dilaksanakan satu kali, yaitu di Pemilu 2019. Sebut saja aturan tentang keserentakan pilpres dan pileg, parliamentary threshold 4%, presidential threshold 20%, dapil magnitude, atau metode penghitungan suara.
"Mengamati situasi seperti itu, PSI beranggapan ada tendensi bahwa UU Pemilu hendak diubah tergantung kepentingan partai-partai politik yang tengah berkuasa. Bukan didorong kebutuhan objektif dan menyangkut kepentingan bangsa yang lebih besar," kata Dea dalam keteranagn tertulis, Selasa (5/1/2021).
Karena itu, ia memandang UU Pemilu belum perlu direvisi saat ini. Lebih baik dilakukan setelah melewati setidaknya 4 sampai 5 kali.
"Kami berpandangan UU No 7/2017 tentang Pemilu belum perlu direvisi. Sebaiknya, UU dievaluasi dan diubah setelah diterapkan pada 4 atau 5 kali pemilu, jangan terlalu sering, biar kita punya pengalaman yang lebih objektif," kata dia.
Dia pun menyatakan, para politisi di parlemen selayaknya bertindak sebagai negarawan, termasuk dalam menyikapi usulan revisi UU pemilu.
"Revisi itu seyogianya bertujuan untuk terus memperkuat sistem politik kita. UU bukan untuk dibongkar-pasang kapan saja, mengikuti kepentingan politik jangka pendek," ujar doktor Ilmu Hukum tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: