Menimbang Hukum Kebiri Kimia untuk Pelaku Kekerasan Seksual di Indonesia, Efektifkah?
Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi eksekutor
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai PP Nomor 70 Tahun 2020 ini bermasalah karena tak menjelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan untuk menerapkan kebiri kimia.
"PP ini bahkan melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan, dan pelaksanaan yang bersifat klinis ke aturan yang lebih rendah," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulisnya (4/1/2021).
PP ini memang masih menyerahkan sejumlah ketentuan kepada peraturan di bawahnya, yakni peraturan menteri.
Hukuman kebiri kimia ini pernah menjadi kontroversi pada 2016 saat menjadi materi revisi Undang-undang Kesehatan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016.
Ikatan Dokter Indonesia saat itu menolak menjadi eksekutor kebiri kimia karena hal itu bertentangan dengan kode etik dan disiplin profesi kedokteran.
Pada 2019 lalu Ketua Umum IDI, Daeng M Faqih mengungkapkan bahwa kebiri kimia merupakan bentuk hukuman dan bukan pelayanan medis sehingga tidak berkaitan dengan tugas dokter dan tenaga kesehatan.
"Karena itu [menjadi eksekutor] di aturan pelayanan medis memang tidak membolehkan," katanya seperti yang dikutip CNN Indonesia.
Selain itu, perintah organisasi kesehatan dunia (WHO), dan undang-undang kesehatan juga melarang tindakan kebiri kimia tersebut.
Namun, IDI tetap mendorong keterlibatan dokter dalam rehabilitasi korban dan pelaku guna mencegah dampak buruk dari trauma fisik dan psikis yang dialami.
ABC Indonesia telah berusaha meminta tanggapan dari IDI terkait diterbitkannya PP No.70 Tahun 2020 yang masih melibatkan profesi dokter di dalamnya, namun sampai berita ini diterbitkan belum mendapat jawaban.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto