Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Partai Nonparlemen Menjerit PT Dinaikkan, Keran Demokrasi Dimatikan

Partai Nonparlemen Menjerit PT Dinaikkan, Keran Demokrasi Dimatikan Kredit Foto: Antara/Septianda Perdana
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wacana kenaikan ambang batas parlemen alias Parliamentary Threshold (PT) oleh partai besar di Senayan, kembali diprotes barisan partai politik non parlemen. Kali ini, datang dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Bagi mereka, menaikkan PT sama dengan menutup keran demokrasi.

“Setelah keran demokrasi dibuka lebar pasca reformasi, dan kita semua merasakan manfaatnya, jangan coba untuk ditutup kembali secara bertahap”, ujar Juru Bicara PKPI, Sonny Valentino Tulung kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Baca Juga: Elite PKPI Makin Keras! Ratakan dengan Tanah, FPI Haram di Indonesia

Mantan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menyebut, jalan untuk menutup lubang keran demokrasi adalah melalui Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilu yang saat ini dibahas di DPR. Salah satu poinnya adalah, wacana menaikkan PT yang sebelumnya ditetapkan 4 persen.

“Logikanya, semakin tinggi PT, semakin sedikit partai politik yang berada di Senayan,” ucapnya.Baca Juga: Ceramah Habib Rizieq Bikin Gerah, PKPI: Ini Penghinaan untuk Negara

Sonny mengingatkan, pada Pemilu 2019, yang menetapkan PT sebesar 4 persen, telah menggagalkan tujuh parpol peserta Pemilu 2019 untuk mengirimkan wakilnya di DPR. “Menaikkan PT menjadi tujuh persen, merupakan upaya menutup kesempatan partai-partai menengah dan kecil untuk dapat berkiprah di parlemen,” tegasnya.

Pria yang ngetop sebagai presenter acara kuis ini mengatakan, selain menutup pintu partai menengah dan kecil, PT juga telah menghanguskan jutaan suara sah pemilih parpol non parlemen yang tidak bisa dikonversi melalui kursi di parlemen. “Apakah ini bentuk demokrasi yang kita impikan?” cetusnya.

Dikatakan, PKPI, mendukung beragam upaya penguatan demokrasi. Termasuk, mengevaluasi Undang-Undang Pemilu. Namun, sebaiknya evaluasi dilakukan setelah regulasi itu digunakan di lima pemilu. “Kalau setiap lima tahun diubah, habis energi kita,” ucapnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: