Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Ditjen PSLB3 KLHK, Ujang Solihin Sidik mengatakan perlunya membangun format ideal yang mensinergikan antara semua pihak dalam pengelolaan sampah plastik di Indonesia.
“Jadi pemerintah punya kewajiban, masyarakat punya kewajiban, dan produsen ada kewajiban. Jadi kita padankan, ini format ideal yang harus kita bangun. Soal kemitraan itu next step, yang penting kita harus sepakat dulu, memahami pengelolaan sampah adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya.
Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin, Muhammad Taufiq menyampaikan Kemenperin telah mendorong industri, termasuk industri plastik untuk menerapkan presentasi industri hijau dalam kegiatan industrinya. Hal itu sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No.3 tahun 2015 tentang Industri. Kata Taufiq, industri hijau itu juga telah mewacanakan tentang sirkular ekonomi seperti yang diinginkan Kemenko Perekonomian.
Dia mengutarakan dari 7,2 juta ton sampah plastik yang dihasilkan per tahun, yang dibuang itu hanya 2,8 juta ton. “Dari 2,8 juta ton yang dibuang itu, juga masih bisa digunakan sebanyak 1,1 juta ton. Ini dapat digunakan oleh industri recycle sebagai bahan baku, sedangkan sisanya sebesar 1,6 juta ton memang tidak bisa,” tuturnya.
Tapi dia yakin jika dilakukan pengelolaan manajemen sampah yang baik, sampah plastik yang bisa di-recycle menjadi bahan baku plastik tahun ini bisa bertambah dan waste-nya akan berkurang, sekaligus bisa menyuplai kebutuhan bahan plastik dalam negeri. “Ini bisa mengurangi importasi bahan plastik dari luar,” ucapnya.
Menurut Taufiq, pengelolaan manajemen sampah yang baik itu perlu melibatkan semua stakeholder, jadi tidak hanya industri saja. “Jadi dalam hal pelaksanaan EPR atau Extended Producer Responsibility, industri juga memerlukan dukungan dari banyak pihak. Artinya, tidak hanya produsen saja yang dimintakan tanggung jawabnya terhadap sampah yang dihasilkan, tapi seluruh stakeholder harus ikut terlibat dalam penanganan sampah tersebut,” katanya.
Karena, dia melihat masih rendahnya penerapan EPR ini salah satunya adalah disebabkan kurangnya infrastruktur pengelolaan limbah terutama infrastruktur milik pemerintah. Selain itu, juga karena tidak adanya insentif yang diberikan kepada bisnis industri yang telah menerapkan EPR juga industri daur ulang. Kemudian, tidak ada kewajiban mengikat bagi pelaku usaha dalam bentuk laporan wajib pada program EPR ini.
“Yang tak kalah penting adalah karena belum ada aturan turunan dari UU 18 tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, sehingga pemerintah daerah belum mengeluarkan peraturan yang mengikat perusahaan yang menghasilkan limbah. Karena itu, perlu adanya dukungan dari pemerintah daerah, masyarakat dan industri dalam menerapkan EPR di Indonesia,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq