Melewati minggu II Januari 2021, harga rata-rata minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada CIF Rotterdam basis tercatat menguat sebesar 20,6 persen menjadi US$1.031 per MT (atau sekitar Rp14.537.100 per MT) dibandingkan periode yang sama secara y-o-y.
Jika dibandingkan pekan lalu, average price yang tercatat tersebut melemah 6,6 persen dari yang sebelumnya sebesar US$1.104 per MT (atau sekitar Rp15.566.400 per MT).
Baca Juga: Karena Sawit, Lapangan Pekerjaan di Negara-Negara Ini Terbuka
Meskipun penyebaran pandemi Covid-19 masih masif di Indonesia, harga rata-rata CPO tersebut berhasil mencetak harga tertinggi dibandingkan sebelum serangan masif Covid-19 di Indonesia. Tidak hanya itu, harga CPO saat ini juga membawa harapan baru untuk harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.
Kendati demikian, Analis komoditas dari LMC International Ltd Inggris, James Fry, memperkirakan harga CPO akan tetap tinggi hingga kuartal II-2021. Dampak La Nina dan pemeliharaan kebun yang tidak optimal sejak pandemi Covid-19 akan mempengaruhi produksi tandan buah segar (TBS) di perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia.
“Tahun ini kinerja produksi minyak sawit rendah, bukan karena dampak musim kemarau panjang satu atau dua tahun sebelumnya saja. Tetapi juga karena pemeliharaan kebun yang kurang baik akibat penggunaan pupuk berkualitas rendah beberapa tahun lalu,” kata James Fry saat menjadi pembicara dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 New Normal, Kamis (3/12/2020).
Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur ISTA, Mielke Gmb H Thomas Mielke menjelaskan perubahan pasokan dan permintaan minyak sawit dan minyak kedelai menentukan faktor fundamental yang menentukan harga minyak nabati. Tahun 2020, minyak sawit memegang pangsa 32 persen dari total produksi minyak nabati dunia, sementara minyak kedelai sebesar 25 persen.
“Mengejutkan, harga minyak sawit dan sebagian minyak nabati lainnya mencapai harga tertinggi dalam kurun enam tahun terakhir yakni di bulan November,” jelas Mielke.
Lebih lanjut Mielke mengatakan, produksi minyak sawit lebih rendah dari ekspektasi, hal ini terjadi terutama dari bulan Juli - September 2020. Produksi minyak sawit dunia turun hampir di atas 8 juta ton, terutama di Indonesia.
Terkait tingginya harga CPO tersebut, Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga mengatakan harga sawit jangan tinggi sekali. Tidak bagus juga untuk daya saing sawit terhadap minyak nabati lain.
"Memang akan dinikmati petani dan industri dalam negeri, tetapi saya pribadi menilai bisa jadi bumerang,”.
Lebih lanjut menurut Sahat, agar harga minyak sawit berada pada posisi stabil. "Indonesia sebagai produsen utama harus bisa menjaga pasokan CPO ke pasar global dengan volume yang ideal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yakni dengan mengoptimalisasi konsumsi domestik," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Alfi Dinilhaq