Waspada Collapse Syndrome, Prioritas Utama Warga: Taati Protokol Kesehatan!
Dengan fasilitas dan sumber daya yang dikerahkan, nyatanya laju kasus nyaris mengalahkan kemampuan rumah sakit menampung lonjakan pasien Covid-19. Tanda-tanda kolaps layanan kesehatan sebenarnya sudah terindikasi sejak September 2020, yang kemudian mereda pada periode pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta.
Jelang pertengahan November 2020, pilkada serentak dan libur Natal dan Tahun Baru memperburuk ketidakmampuan rumah sakit menampung pasien. Imbas libur tersebut, jumlah kasus aktif meningkat hingga 30-40%.
Langkah cepat dan taktis perlu segera diambil agar fasilitas kesehatan tidak semakin kritis dan berakhir dengan kolaps. Tak ada yang bisa dilakukan selain menerapkan aturan yang sungguh-sungguh dan tegas. Tak perlu lagi memakai alasan agar roda ekonomi berjalan, lalu segala aktivitas dilonggarkan. Toh, sudah 11 bulan kondisi yang ada tetap sama saja, ekonomi semakin memburuk, jumlah pasien semakin melambung.
Harus ada good will dari pemegang kekuasaan untuk sedikit berkorban dan mendesak kalangan dunia usaha untuk menghentikan kegiatan selama dua pekan. Lockdown dua pekan yang seharusnya dilakukan di awal pandemi dengan alasan demi perekonomian tidak dilakukan, nyatanya malah memperburuk ekonomi nasional. Jika jumlah penderita Covid-19 terus melonjak, tentu orang akan enggan berbelanja, melakukan kegiatan konsumtif meskipun ruang-ruang perekonomian dibuka.
Hal yang juga penting adalah kesadaran masyarakat untuk mengurangi aktivitasnya. Terutama penerapaan protokol kesehatan yang ketat. Sebab, banyak dijumpai masyarakat yang berhasil lolos dari maut justru semakin abai dengan protokol yang seharusnya dipatuhi. Sebab, masih ada potensi serangan kedua yang mungkin menghadirkan maut, tak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto