Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kalau Tolak Vaksin, Nanti Gak Dapat ....

Kalau Tolak Vaksin, Nanti Gak Dapat .... Petugas menyuntikkan vaksin COVID-19 produksi Sinovac kepada tenaga kesehatan saat kegiatan vaksinasi massal dosis pertama di Puskesmas Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, Minggu (7/2/2021). Kementerian Kesehatan hingga Minggu (7/2) telah memberikan vaksin COVID-19 Sinovac tahap pertama kepada 784.318 orang, sementara untuk vaksinasi tahap kedua sudah diberikan kepada 139.131 orang. | Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra

“Itu kemensos ya nanti pengaturannya,” kata Siti kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Tentu, Kemenkes mendorong masyarakat untuk berpartisipasi memuluskan vaksinasi. Karena saat ini nyawa seseorang itu di tangan orang lain. “Mari kita hindari orang yang sakit 9.000 per hari dan kematian 300 per hari,” ujarnya.

Dia mengajak masyarakat saling menjaga satu sama lain. Hindari ego sektoral yang menimbulkan kerugian nyawa. “Mungkin kalau masyarakat mengerti dan mengikuti anjuran Pemerintah, tentunya sanksi tersebut tidak perlu terjadi ya,” tekan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes itu.

Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo menilai, Perpres terkait vaksinasi ini sudah tepat. Menurutnya, pemberian vaksin bukan semata-mata untuk pribadi dalam meningkatkan imun. Namun, dampaknya lebih besar lagi. Bagaimana imunitas itu terbentuk secara berkelompok.

“Kalau sudah terbentuk imunitas bersama di masyarakat, maka kekuatan kesehatan massal terbentuk lewat herd immunity,” kata politisi PDIP itu.

Begitupun sebaliknya, betapa pentingnya vaksinasi dan betapa serius dampaknya bagi masyarakat yang tidak ingin divaksin. “Perpres ini bukan untuk menakut-nakuti tapi justru mendidik betapa pentingnya vaksin bagi keselamatan dan kesehatan bersama,” paparnya.

Jangan melihat sanksinya tapi lihatlah pentingnya vaksinasi. “Dasar Pemerintah sangat kuat dari sisi kesehatan dalam pengendalian seirama dengan yang ditetapkan WHO,” tuturnya.

Namun, epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman menilai, ancaman yang dibuat dalam sosialisasi vaksin kurang tepat. Dia khawatir, ancaman sanksi hanya menimbulkan ketakutan dan cenderung menggiring opini publik bahwa Corona adalah konspirasi.

“Bangun kepercayaan masyarakat dengan upaya persuasif. Tidak menakut-nakuti,” bebernya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Sampai saat ini, Dicky belum melihat vaksinasi itu sebuah kewajiban. Apalagi untuk mahasiswa yang mulai kencang mengkritik Pemerintah. Ditambah lagi yang disasar warga miskin. “Belum apa-apa udah wajib, yang ada memunculkan reaksi dan sebagainya,” pungkasnya.

Negara terpuruk karena Corona seperti Amerika Serikat dan India saja tidak mengharuskan, tapi berhasil. “Karena strategi komunikasi risiko yang dibangun juga tepat. Jadi yang penting itu upaya membangun kepercayaan,” tegas Dicky.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Tanayastri Dini Isna

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: